September 10, 2012

Transisi yang Gagal..?

Diskursus tentang perubahan (transformasi) sosial di Indonesia kembali menjadi mainstream setelah perjalanan gerakan reformasi memasuki usia kurang lebih 10 tahun, dari kurun waktu tersebut, realitas keindonesiaan yang oleh Friedman (2000) diposisikan sebagai The Messy State (negara amburadul), ternyata tidak lebih baik dari masa-masa sebelumnya, termasuk pada masa orde baru. Konflik komunal, disintegrasi, prilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM), penggusuran dan utang luar negeri masih menjadi problem kebangsaan yang belum dan tidak tuntas penyelesaiannya sampai saat ini. Sehingga tidak dapat dipungkiri dan terbantahkan jika lahir sinyalamen bahwa reformasi telah ‘mati’,
reformasi yang sejatinya dapat menjadi ‘kompas’ untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada pranata sosial yang berkesejahterahan dan berkeadilan ternyata berbalik arah menjadi ‘topeng’ dan alat konsolidasi-legitimasi bagi kekuatan pro status quo untuk kembali menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya, kembalinya klan Cendana ke arena politik praktis dan gejala sindrom amat rindu Soeharto (SARS) menjadi bukti kuat atas asumsi diatas. Artinya transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan gagal?.

Fenomena Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru dan mengagetkan dalam teori perubahan sosial-politik sebab ilmuwan seperti Huntington, Schmitter, Tornquist, O`donnel dan Kaplan yang intens mengamati dan melakukan penelitian di negara-negara yang sedang mengalami masa transisi menuju demokrasi, telah mengingatkan bahwa diantara sekian banyak negara yang menikmati ‘kebebasan’ dari belenggu rezim otoritarianisme (militerisme) telah mengalami kegagalan menkonsolidasikan demokrasi politik di negaranya. Ada kesamaan perspektif dari beberapa ilmuwan dalam membaca faktor penghambat transisi menuju demokrasi suatu negara, diantaranya adalah adanya homogenitas struktur atau anatomi masyarakat yang sangat bergantung pada sektor tradisional, yang mengakibatkan masyarakat menjadi tidak apresiatif-responsif terhadap realitas eksternalnya yang sebenarnya mempengaruhi eksistensi kehidupannya, artinya masyarakat belum memiliki kesadaran partisipatif-oposisional untuk memberikan konstribusi nyata dalam artikulasi kehidupan bernegara, putih-hitamnya kehidupan mereka disandarkan sepenuhnya kepada state, dengan demikian mereka menjadi begitu mudah dimobilisasi sesuai dengan kepentingan elit politik (penguasa), seperti yang terjadi pada keindonesiaan. 

Matinya kesadaran partisipatif-oposisional mereka lebih karena faktor politik pendidikan dan kebudayaan dari rezim penguasa (rezim orde baru) yang memang secara sadar dan sistematis ‘menumpulkan’ semangat perlawanan masyarakat demi kelanggengan kekuasaannya. Meminjam perspektif Murtadha Muthahhari, komunitas yang tercerabut dari akar etika dan imajinasinya akan menjelma menjadi komunitas ‘mati’, masyarakat yang mudah diperalat dan ditaklukkan, demikianlah gambaran masyarakat Indonesia saat ini.

Pilihan metodologi perubahan memang amat mempengaruhi arah dan cita masa depan suatu masyarakat dan bangsa, kekeliruan menetapkan pilihan akan berimplikasi langsung terhadap eksistensialitas suatu komunitas. Adakah pilihan ‘reformasi’ yang dicanangkan 1998, merupakan pilihan keliru dalam menetapkan metodologi untuk membangun lanskap Indonesia masa depan?, jika pilihan reformasi ternyata tidak signifikan untuk mendorong perubahan, lalu apa pilihan alternatifnya?. Samuel Huntington (1991) menginformasikan bahwa ada tiga model transisi demokrasi yang terjadi di negara-negara berkembang. 

Pertama, transformasi, hal ini terjadi jika pihak penguasa mengambil langkah-langkah politik dalam rangka mereformasi sistem politiknya, model ini ditempuh untuk kepentingan pragmatis penguasa. 

Kedua, replacement (pergantian), transisi model ini terjadi karena kuatnya tekanan kelompok oposisi dan pada saat bersamaan kekuatan penguasa mengalami pelemahan. 

Ketiga, transplacement, perubahan model ini ditempuh karena antara pemerintah dan oposisi memiliki kekuatan yang relatif seimbang, sehingga pada akhirnya akan terjadi kompromi diantara mereka. 

Perspektif Huntington diatas dapat dikerucutkan menjadi dua model pilihan yakni model perubahan yang revolusioner dan evolusioner, kedua model perubahan ini, masing-masing pernah teruji-tereksprementasikan pada ranah praksis dibeberapa negara. Republik Islam Iran termasuk negara yang berhasil membangun bangsanya dengan model gerakan revolusioner ketika menumbangkan rezim despotik Reza Pahlevi peliharaan Amerika Serikat, tetapi tidak sedikit juga negara yang  gagal menjalankan proyek revolusinya. Begitupun dengan model perubahan evolusioner (rekonsiliatif), Afrika Selatan merupakan contoh terkini yang berhasil melapangkan jalan transisinya secara damai dan elegan, tetapi juga tidak dapat dipungkiri banyak negara yang gagal meretas jalan perubahan bagi masyarakatnya dengan metode evolutif. Pilihan terhadap model perubahan bagi suatu masyarakat-bangsa harus dikontekstualisasikan dengan basis sosial (social capital) yang dimilikinya, tidak serta merta pengalaman perubahan negara lain (apa pun metodenya) untuk diadopsi total.

Apatisme masyarakat Indonesia terhadap reformasi, dan keinginan untuk mendorong revolusi sosial akankah memberikan secercah harapan yang lebih baik?, realitiskah pilihan itu?, tersediakah social capital dan seberapa kuat basis sosial tersebut untuk mendorong laju perubahan,   

Oleh : Muzakkir Djabir
Ketua Bidang Hubungan Internasional Pengurus Besar HMI (MPO) Periode 2003-2005, Peneliti Pusat Studi Paradigma Ilmu (PSPI) Makassar

Sumber Gambar :

Ditulis Oleh : Beck Inspiration

Artikel Transisi yang Gagal..? ini ditulis oleh Beck Inspiration pada hari September 10, 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang Transisi yang Gagal..? Dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini.

3 comments:

  1. masa sekarang memang membuat semakin pesimis akan nasib negeri ini..yang semakin menjurus kepada negara korup...dan kita tidak harus menunggu untuk perubahan...tetapi kita harus super aktif terlibat dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam.
      Harusnya seperti itu, kita mesti terlibat secara aktif untuk membuat perubahan di negeri kita, sejauh kemampuan dan kekuatan kita, itu lebih utama dibanding sekedar menjadi mayoritas yang diam.
      Salam

      Delete
  2. Salam kenal bro.
    Thank's sebelumnya atas kunjungannya keblog ini. Ok, akan di tindak lanjuti
    Salam.

    ReplyDelete

Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)


Tinggal Jejak Di Sini atau di kotak Komentar..!!

KOMPAStekno

Jaringan Pertemanan

inet.detik