Diskursus tentang perubahan
(transformasi) sosial di Indonesia kembali menjadi mainstream setelah perjalanan gerakan reformasi memasuki usia
kurang lebih 10 tahun, dari kurun waktu tersebut, realitas keindonesiaan yang
oleh Friedman (2000) diposisikan sebagai The
Messy State (negara amburadul), ternyata tidak lebih baik dari masa-masa
sebelumnya, termasuk pada masa orde baru. Konflik komunal, disintegrasi, prilaku
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM),
penggusuran dan utang luar negeri masih menjadi problem kebangsaan yang belum
dan tidak tuntas penyelesaiannya sampai saat ini. Sehingga tidak dapat
dipungkiri dan terbantahkan jika lahir sinyalamen bahwa reformasi telah ‘mati’,
reformasi yang sejatinya dapat menjadi ‘kompas’ untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada pranata sosial yang berkesejahterahan dan berkeadilan ternyata berbalik arah menjadi ‘topeng’ dan alat konsolidasi-legitimasi bagi kekuatan pro status quo untuk kembali menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya, kembalinya klan Cendana ke arena politik praktis dan gejala sindrom amat rindu Soeharto (SARS) menjadi bukti kuat atas asumsi diatas. Artinya transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan gagal?.
reformasi yang sejatinya dapat menjadi ‘kompas’ untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada pranata sosial yang berkesejahterahan dan berkeadilan ternyata berbalik arah menjadi ‘topeng’ dan alat konsolidasi-legitimasi bagi kekuatan pro status quo untuk kembali menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya, kembalinya klan Cendana ke arena politik praktis dan gejala sindrom amat rindu Soeharto (SARS) menjadi bukti kuat atas asumsi diatas. Artinya transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan gagal?.
Fenomena
Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru dan mengagetkan dalam teori perubahan
sosial-politik sebab ilmuwan seperti Huntington, Schmitter, Tornquist, O`donnel
dan Kaplan yang intens mengamati dan melakukan penelitian di negara-negara yang
sedang mengalami masa transisi menuju demokrasi, telah mengingatkan bahwa diantara
sekian banyak negara yang menikmati ‘kebebasan’ dari belenggu rezim
otoritarianisme (militerisme) telah mengalami kegagalan menkonsolidasikan
demokrasi politik di negaranya. Ada kesamaan perspektif dari beberapa ilmuwan dalam
membaca faktor penghambat transisi menuju demokrasi suatu negara, diantaranya
adalah adanya homogenitas struktur atau anatomi masyarakat yang sangat
bergantung pada sektor tradisional, yang mengakibatkan masyarakat menjadi tidak
apresiatif-responsif terhadap realitas eksternalnya yang sebenarnya
mempengaruhi eksistensi kehidupannya, artinya masyarakat belum memiliki
kesadaran partisipatif-oposisional untuk memberikan konstribusi nyata dalam
artikulasi kehidupan bernegara, putih-hitamnya kehidupan mereka disandarkan
sepenuhnya kepada state, dengan demikian mereka menjadi begitu mudah
dimobilisasi sesuai dengan kepentingan elit politik (penguasa), seperti yang
terjadi pada keindonesiaan.
Matinya kesadaran partisipatif-oposisional mereka
lebih karena faktor politik pendidikan dan kebudayaan dari rezim penguasa (rezim
orde baru) yang memang secara sadar dan sistematis ‘menumpulkan’ semangat
perlawanan masyarakat demi kelanggengan kekuasaannya. Meminjam perspektif
Murtadha Muthahhari, komunitas yang tercerabut dari akar etika dan imajinasinya
akan menjelma menjadi komunitas ‘mati’, masyarakat yang mudah diperalat dan
ditaklukkan, demikianlah gambaran masyarakat Indonesia saat ini.
Pilihan
metodologi perubahan memang amat mempengaruhi arah dan cita masa depan suatu
masyarakat dan bangsa, kekeliruan menetapkan pilihan akan berimplikasi langsung
terhadap eksistensialitas suatu komunitas. Adakah pilihan ‘reformasi’ yang
dicanangkan 1998, merupakan pilihan keliru dalam menetapkan metodologi untuk
membangun lanskap Indonesia masa depan?, jika pilihan reformasi ternyata tidak
signifikan untuk mendorong perubahan, lalu apa pilihan alternatifnya?. Samuel
Huntington (1991) menginformasikan bahwa ada tiga model transisi demokrasi yang
terjadi di negara-negara berkembang.
Pertama,
transformasi, hal ini terjadi jika pihak penguasa mengambil langkah-langkah
politik dalam rangka mereformasi sistem politiknya, model ini ditempuh untuk
kepentingan pragmatis penguasa.
Kedua, replacement
(pergantian), transisi model ini terjadi karena kuatnya tekanan kelompok
oposisi dan pada saat bersamaan kekuatan penguasa mengalami pelemahan.
Ketiga, transplacement, perubahan model
ini ditempuh karena antara pemerintah dan oposisi memiliki kekuatan yang
relatif seimbang, sehingga pada akhirnya akan terjadi kompromi diantara mereka.
Perspektif Huntington diatas dapat dikerucutkan menjadi dua model pilihan yakni
model perubahan yang revolusioner dan evolusioner, kedua model perubahan ini,
masing-masing pernah teruji-tereksprementasikan pada ranah praksis dibeberapa
negara. Republik Islam Iran termasuk negara yang berhasil membangun bangsanya
dengan model gerakan revolusioner ketika menumbangkan rezim despotik Reza
Pahlevi peliharaan Amerika Serikat, tetapi tidak sedikit juga negara yang gagal menjalankan proyek revolusinya.
Begitupun dengan model perubahan evolusioner (rekonsiliatif), Afrika Selatan
merupakan contoh terkini yang berhasil melapangkan jalan transisinya secara
damai dan elegan, tetapi juga tidak dapat dipungkiri banyak negara yang gagal
meretas jalan perubahan bagi masyarakatnya dengan metode evolutif. Pilihan
terhadap model perubahan bagi suatu masyarakat-bangsa harus
dikontekstualisasikan dengan basis sosial (social capital) yang dimilikinya,
tidak serta merta pengalaman perubahan negara lain (apa pun metodenya) untuk diadopsi
total.
Oleh : Muzakkir Djabir
Ketua Bidang Hubungan Internasional Pengurus Besar HMI (MPO) Periode 2003-2005, Peneliti Pusat Studi Paradigma Ilmu (PSPI) Makassar
Sumber Gambar :
Sumber Gambar :
masa sekarang memang membuat semakin pesimis akan nasib negeri ini..yang semakin menjurus kepada negara korup...dan kita tidak harus menunggu untuk perubahan...tetapi kita harus super aktif terlibat dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik :)
ReplyDeleteSalam.
DeleteHarusnya seperti itu, kita mesti terlibat secara aktif untuk membuat perubahan di negeri kita, sejauh kemampuan dan kekuatan kita, itu lebih utama dibanding sekedar menjadi mayoritas yang diam.
Salam
Salam kenal bro.
ReplyDeleteThank's sebelumnya atas kunjungannya keblog ini. Ok, akan di tindak lanjuti
Salam.