November 16, 2012

Gagal-Negara: Salah Siapa..?

Indonesia menunjukkan gejala gagal-negara. Benarkah muasalnya adalah kolonialisme ?

Betapa senangnya bila kita bisa menyalahkan orang lain atas nasib malang yang sedang kita alami. Lebih menyenangkan lagi bila yang bisa disalahkan itu adalah pihak asing. Yang paling menyenangkan adalah kalau yang menyalahkan pihak asing itu adalah para sarjana asing sendiri. Begitu kira-kira 1 nasib baik yang kita temukan di antara 1000 nasib buruk kita.

Para sarjana asing bilang bahwa keterpurukan Indonesia dewasa ini menunjukkan gejala-gejala sindrom gagal-negara. Ciri-cirinya antara lain konflik etnis dan agama yang tak kunjung selesai, keamanan rakyat yang tak terjaga, korupsi besar-besaran, legitimasi negara yang terus ditentang dan menipis, kelumpuhan pemerintahan pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri. Sindrom gagal-negara berakar dalam sejarah wilayah bekas jajahan Barat. Ia tak tampak di negara yang dulu dijajah Jepang, seperti misalnya Taiwan dan Korea.

Belanda meninggalkan Indonesia tidak sebagai negara-kebangsaan, melainkan sebagai suatu teritorium yang dipisah-pisah oleh laut, budaya, agama, bahasa, suku, dan bahkan ras. Nederlands-Indie adalah suatu wilayah heterogen yang sebagian dijajah langsung, dan sebagian lagi dijajah tak langsung, yaitu melalui struktur kekuasaan pribumi setempat. Pemerintahan kolonial mengalami banyak kesulitan dan menggunakan banyak kekerasan dalam memerintah Indonesia

Dalam kondisi yang sedemikian majemuk, sulit dicapai konsensus. Soekarno berusaha, tapi gagal. Konstitusi 1945 yang berlandaskan Pancasila secara langsung ditantang dari kiri dalam bentuk pemberontakan Madiun 1948, dan dari kanan oleh serangkaian pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Tak lama kemudian timbul serentetan pemberontakan daerah. Dari Aceh sampai Maluku, dan kemudian Irian, kondisi Indonesia tidak pernah tenang, tak pernah mengalami kemantapan pemerintahan atas dasar konsensus nasional.

Itulah sebabnya mengapa pada 1966 “nation-building” ditinggalkan sebagai pengawal legitimasi negara. Orde Baru menandakan tibanya era baru: Legitimasi negara ditentukan oleh rejeki yang dihasilkan oleh sukses pembangunan. Pada 1966 seharusnya sudah dimulai proses “state-building” sebagai pengganti “nation-building”. Akan tetapi, karena kultur bernegara kita bersifat patrimonial, dan karena konsensus nasional sulit dicapai, maka Suharto main potong kompas dalam melaksanakan “state-making”: Yang mendukung disuruh korupsi, yang melawan ditangkap. 

Rezim Suharto bertahan lama karena pandai membagi rejeki di kalangan pendukungnya, dan tidak ragu menggebuk lawannya. Hasil pembangunan membiayai sistem “state-making” yang sembrono ini. Ketika digoyah oleh krisis moneter 1997, robohlah sistem yang dibangun dengan manajemen gebuk-suap ini. 

Biasa Gratis

Baru-baru ini ada konferensi internasional tentang Islam dan Demokrasi, di Jakarta. Seorang gurubesar dari Columbia University bilang bahwa negara bekas jajahan Barat di Timur Tengah dan Afrika sudah terbiasa dengan sistem kesejahteraan yang tak mampu dibiayainya sendiri. Kondisi ini sudah berlangsung lama sebelum negara-negara itu meraih kemerdekaan. Pemerintah kolonial-lah yang membiasakan mereka hidup di luar kemampuannya. Profesor Lisa Anderson berpendapat bahwa negara-negara eks koloni tersebut membangun lembaga-lembaga kesejahteraan yang dirancang di negara industri untuk memperlunak dampak keras liberalisme, tanpa pernah mengalami politik liberal.

Yang perlu ditambahkan pada pendapat Anderson adalah bahwa kebijakan kesejahteraan pemerintah kolonial tidak terbatas pada wilayah jajahan di Timur Tengah dan Afrika. Eropa menjelang akhir abad ke-19 sedang giat-giatnya melaksanakan industrialisasi. Untuk memasarkan hasil industri dibutuhkan pasar pembeli yang cerdas dan mampu. Mulailah para penjajah memperhatikan nasib rakyat jajahannya. 

Untuk Nederlands-Indie kebijakan kolonial menyediakan “etische politiek”. Kalau pada tahun 1870 anggaran kolonial untuk pendidikan “inlander” sebesar 300.000 gulden, pada tahun 1900 melonjak hampir lima kali lipat menjadi 1.409.000 gulden. Begitu pula dengan mata anggaran kesehatan. Dari 502.000 gulden menjadi 2.082.000 gulden. Kebijakan kesejahteraan ini senantiasa disubsidi oleh negara penjajah, karena perekonomian wilayah jajahan memang belum mampu membiayainya. 

Kebijakan kesejahteraan dalam perekonomian pra-sejahtera ini dilanjutkan oleh Republik Indonesia. Contoh paling mencolok misalnya perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Seperti di Eropa, majikan praktis boleh dikata hampir tidak bisa memberhentikan buruh, walaupun si buruh melakukan kesalahan. Di Indonesia pelembagaan kebijakan kesejahteraan beroperasi dalam suatu perekonomian pra-sejahtera. Oleh karena itu ia akan selalu haus akan subsidi.



Ada pandangan amat menarik mengenai negara yang menjalankan kebijakan welfare-state walaupun sebenarnya belum mampu. Di satu pihak ia tampak sebagai negara pengayom yang melindungi rakyatnya, di sisi lain ia membuat rakyat bergantung pada negara, dan bukan sebaliknya seperti lazimnya di negara demokratis. Pandangan ini mengambil suatu contoh universal, yaitu bahwa seorang pembayar pajak akan lebih menuntut haknya sebagai warganegara ketimbang seorang yang diberi subsidi. Rakyat yang disubsidi bersifat jinak.

Salah Siapa?

Korupsi sebagai imbalan buat dukungan, dan pembiayaan kesejahteraan sebagai penjinak rakyat adalah dua sokoguru legitimasi bagi negara Republik Indonesia. Kita semua tahu bahwa yang membiayai korupsi dan kesejahteraan publik adalah bantuan luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Kita juga tahu bahwa setelah Perang Dingin berakhir, blok komunis ambruk dan tidak lagi mampu memberi bantuan ekonomi.

Amerika yang memenangkan Perang Dingin segera memotong bantuan luar negerinya secara teramat sangat drastis. Buat apa ambil hati negara miskin kalau hegemoni yang didambakan sudah tercapai, begitu kira-kira pertimbangan Amerika. Yang tersisa sebagai cukong kesejahteraan dan korupsi tinggal pertumbuhan ekonomi dan utang luar negeri.

Pada 1997 kedua sokoguru legitimasi negara RI ini ambruk. Kemudian Indonesia kebanjiran ambulan ekonomi dalam bentuk IMF dan Bank Dunia. Secara kecil-kecilan ratusan LSM luar negeri mengisi lubang-lubang yang tidak diminati atau disanggupi oleh negara yang sedang mengalami kegagalan.

Salah siapa? Kolonialisme. Siapa lagi? Kolonialisme yang meninggalkan wilayah beribu pulau dengan ribuan bahasa dan budaya. Kondisi kolonial itu yang membuat kita sulit mencapai konsensus. Kolonialisme yang membiasakan rakyat Indonesia menyusu pada negara. Menyalahkan pihak lain buat malapetaka yang menimpa diri kita memang enak. Kalau pihak lain yang bersalah, maka kita tidak usah menyidik diri kita lagi.

Sementara itu ada beberapa contoh soal yang mengganggu teori “kula mboten” (bukan saya) kita yang tampak simetris ini. Malaysia dan Singapura juga merupakan wilayah bekas jajahan yang heterogen. Mereka tidak menunjukkan gejala sindrom gagal-negara. Mengapa?

Tunisia dan Maroko lebih homogen dibanding kita, namun mereka pun ahliwaris kebijakan kesejahteraan kolonial yang tidak didukung kemampuan perekonomian mereka masing-masing. Mengapa negara mereka tidak gagal? Bagaimana dengan Yordania, atau India?

By : Nono Anwar Makarim

Ditulis Oleh : Beck Inspiration

Artikel Gagal-Negara: Salah Siapa..? ini ditulis oleh Beck Inspiration pada hari November 16, 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang Gagal-Negara: Salah Siapa..? Dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini.

2 comments:

  1. Aarrgghh... Membaca tulisan ini membuat galau. Jadi banyak banget yang dipikirin... NEgara ini bakal gimana nantinya? Utang luar negri kita gimana? Bisakah korupsi musnah? Di daerah mana lagi yang bakal tawuran...?
    Huhu... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal.
      Negara kita memang segudang masalah yang tak kunjung selesai, tak ada keseriusan untuk menyelesaikannya, masalahnya itu2 saja, korupsi, tawuran dll. semoga elit penghuasa bisa sadar/paham dan melakukan langkah2 untuk mencegah dan menagatasi problem yang ada, dan masyarakat akan mendukung penuh dari belakang
      salam.

      Delete

Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)


Tinggal Jejak Di Sini atau di kotak Komentar..!!

KOMPAStekno

Jaringan Pertemanan

inet.detik