Betapa senangnya bila kita bisa
menyalahkan orang lain atas nasib malang
yang sedang kita alami. Lebih menyenangkan lagi bila yang bisa disalahkan itu
adalah pihak asing. Yang paling menyenangkan adalah kalau yang menyalahkan
pihak asing itu adalah para sarjana asing sendiri. Begitu kira-kira 1 nasib
baik yang kita temukan di antara 1000 nasib buruk kita.
Para sarjana asing bilang bahwa keterpurukanIndonesia dewasa ini menunjukkan
gejala-gejala sindrom gagal-negara. Ciri-cirinya antara lain konflik etnis dan
agama yang tak kunjung selesai, keamanan rakyat yang tak terjaga, korupsi
besar-besaran, legitimasi negara yang terus ditentang dan menipis, kelumpuhan
pemerintahan pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan
terhadap tekanan luar negeri. Sindrom gagal-negara berakar dalam sejarah
wilayah bekas jajahan Barat. Ia tak tampak di negara yang dulu dijajah Jepang,
seperti misalnya Taiwan dan Korea .
Para sarjana asing bilang bahwa keterpurukan
Belanda meninggalkan Indonesia
tidak sebagai negara-kebangsaan, melainkan sebagai suatu teritorium yang
dipisah-pisah oleh laut, budaya, agama, bahasa, suku, dan bahkan ras.
Nederlands-Indie adalah suatu wilayah heterogen yang sebagian dijajah langsung,
dan sebagian lagi dijajah tak langsung, yaitu melalui struktur kekuasaan
pribumi setempat. Pemerintahan kolonial mengalami banyak kesulitan dan
menggunakan banyak kekerasan dalam memerintah Indonesia .
Dalam kondisi yang sedemikian majemuk, sulit dicapai konsensus. Soekarno
berusaha, tapi gagal. Konstitusi 1945 yang berlandaskan Pancasila secara
langsung ditantang dari kiri dalam bentuk pemberontakan Madiun 1948, dan dari
kanan oleh serangkaian pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia .
Tak lama kemudian timbul serentetan pemberontakan daerah. Dari Aceh sampai
Maluku, dan kemudian Irian, kondisi Indonesia tidak pernah tenang, tak
pernah mengalami kemantapan pemerintahan atas dasar konsensus nasional.
Itulah sebabnya mengapa pada 1966 “nation-building” ditinggalkan sebagai
pengawal legitimasi negara. Orde Baru menandakan tibanya era baru: Legitimasi
negara ditentukan oleh rejeki yang dihasilkan oleh sukses pembangunan. Pada
1966 seharusnya sudah dimulai proses “state-building” sebagai pengganti
“nation-building”. Akan tetapi, karena kultur bernegara kita bersifat
patrimonial, dan karena konsensus nasional sulit dicapai, maka Suharto main
potong kompas dalam melaksanakan “state-making”: Yang mendukung disuruh korupsi,
yang melawan ditangkap.
Rezim Suharto bertahan lama karena pandai membagi rejeki di kalangan
pendukungnya, dan tidak ragu menggebuk lawannya. Hasil pembangunan membiayai
sistem “state-making” yang sembrono ini. Ketika digoyah oleh krisis moneter 1997,
robohlah sistem yang dibangun dengan manajemen gebuk-suap ini.
Biasa Gratis
Baru-baru ini ada konferensi internasional tentang Islam dan Demokrasi, di
Jakarta. Seorang gurubesar dari Columbia
University bilang bahwa
negara bekas jajahan Barat di Timur Tengah dan Afrika sudah terbiasa dengan
sistem kesejahteraan yang tak mampu dibiayainya sendiri. Kondisi ini sudah
berlangsung lama sebelum negara-negara itu meraih kemerdekaan. Pemerintah
kolonial-lah yang membiasakan mereka hidup di luar kemampuannya. Profesor Lisa
Anderson berpendapat bahwa negara-negara eks koloni tersebut membangun
lembaga-lembaga kesejahteraan yang dirancang di negara industri untuk
memperlunak dampak keras liberalisme, tanpa pernah mengalami politik liberal.
Yang perlu ditambahkan pada pendapat Anderson
adalah bahwa kebijakan kesejahteraan pemerintah kolonial tidak terbatas pada
wilayah jajahan di Timur Tengah dan Afrika. Eropa menjelang akhir abad ke-19
sedang giat-giatnya melaksanakan industrialisasi. Untuk memasarkan hasil industri
dibutuhkan pasar pembeli yang cerdas dan mampu. Mulailah para penjajah
memperhatikan nasib rakyat jajahannya.
Untuk Nederlands-Indie kebijakan kolonial menyediakan “etische politiek”. Kalau
pada tahun 1870 anggaran kolonial untuk pendidikan “inlander” sebesar 300.000
gulden, pada tahun 1900 melonjak hampir lima kali lipat menjadi 1.409.000
gulden. Begitu pula dengan mata anggaran kesehatan. Dari 502.000 gulden menjadi
2.082.000 gulden. Kebijakan kesejahteraan ini senantiasa disubsidi oleh negara penjajah,
karena perekonomian wilayah jajahan memang belum mampu membiayainya.
Kebijakan kesejahteraan dalam perekonomian pra-sejahtera ini dilanjutkan oleh
Republik Indonesia .
Contoh paling mencolok misalnya perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Seperti
di Eropa, majikan praktis boleh dikata hampir tidak bisa memberhentikan buruh,
walaupun si buruh melakukan kesalahan. Di Indonesia pelembagaan kebijakan
kesejahteraan beroperasi dalam suatu perekonomian pra-sejahtera. Oleh karena
itu ia akan selalu haus akan subsidi.
Salah Siapa?
Korupsi sebagai imbalan buat dukungan, dan pembiayaan kesejahteraan sebagai penjinak rakyat adalah dua sokoguru legitimasi bagi negara Republik
Amerika yang memenangkan Perang Dingin segera memotong bantuan luar negerinya secara teramat sangat drastis. Buat apa ambil hati negara miskin kalau hegemoni yang didambakan sudah tercapai, begitu kira-kira pertimbangan Amerika. Yang tersisa sebagai cukong kesejahteraan dan korupsi tinggal pertumbuhan ekonomi dan utang luar negeri.
Pada 1997 kedua sokoguru legitimasi negara RI ini ambruk. Kemudian
Salah siapa? Kolonialisme. Siapa lagi? Kolonialisme yang meninggalkan wilayah beribu pulau dengan ribuan bahasa dan budaya. Kondisi kolonial itu yang membuat kita sulit mencapai konsensus. Kolonialisme yang membiasakan rakyat
Sementara itu ada beberapa contoh soal yang mengganggu teori “kula mboten” (bukan saya) kita yang tampak simetris ini.
By : Nono Anwar Makarim
Aarrgghh... Membaca tulisan ini membuat galau. Jadi banyak banget yang dipikirin... NEgara ini bakal gimana nantinya? Utang luar negri kita gimana? Bisakah korupsi musnah? Di daerah mana lagi yang bakal tawuran...?
ReplyDeleteHuhu... :(
Salam kenal.
DeleteNegara kita memang segudang masalah yang tak kunjung selesai, tak ada keseriusan untuk menyelesaikannya, masalahnya itu2 saja, korupsi, tawuran dll. semoga elit penghuasa bisa sadar/paham dan melakukan langkah2 untuk mencegah dan menagatasi problem yang ada, dan masyarakat akan mendukung penuh dari belakang
salam.