Source |
Kata saeculum lebih menunjukan masa (time) berbanding
mundus yang menunjukan makna ruang (space). Kata saeculum sepadan dengan kata
aeon dalam bahasa Yunani kuno. Sedangkan kata mundus sepadan dengan kata
kosmos, juga dalam bahasa yunani kuno. Menurut Harvey Cox, disebabkan kata
‘dunia’
didalam bahasa latin memiliki dua istilah yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia dalam bahasa latin menjadi suatu kata yang mendua (ambnivalent).
didalam bahasa latin memiliki dua istilah yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia dalam bahasa latin menjadi suatu kata yang mendua (ambnivalent).
Ambivalensi kata “dunia” ini, menurut cox, sebenarnya
mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari perbedaan
konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang yunani kuno memandang realitas ini
sebagai suatu ruang. Sementara dalam bahasa Ibrani, dunia ini menunjukan suatu
masa. Bagi orang yunani, dunia adalah sebuah ruang, sebuah tempat. Berbagai
peristiwa (event) terjadi ‘di dalam’ (within) dunia, tetapi tiada suatu pun
yang penting terjadi ‘kepada’ to dunia. Sebaliknya dalam bahasa Ibrani, esensi
dunia adalah sejarah.
Cox menjelaskan, pengaruh kepercayaan Ibrani terhadap
dunia Hellenistik (Yunani) terjadi melalui perantaraan orang-orang Kristen
awal, yaitu dengan cara menyementarakan atau mentemporalisasikan (temporalize)
realitas. Hasilnya, dunia menjadi sejarah, cosmos menjadi aoon, mundus nenjadi
seaculum. Jadi, kata seculer sebenarnya adalah korban pertama dari
ketidakinginan orang yunani kuno untuk menerima historisitas Ibrani. Demikian
simpul Harvey Cox, seorang teolog dan sosiolog Harvard University .
Jadi disebabkan pengaruh Ibrani itu, konsep sekuler
menunjukan ‘kondisi’ dunia ini pada zaman ini (this age), atau masa sekarang.
Zaman ini atau masa sekarang berarti peristiwa-peristiwa di dunia ini, da ini
juga bermakna peristiwa-peristiwa kontemporer. Penekanan makna yang ditentukan
oleh masa atau periode tertentu dianggap sebagai proses sejarah (historical
Process). Jadi, inti dari makna seculer adalah bahwa konteks dunia berubah
terus-menerus. Akhirnya, berujung pada kesimpulan, bahwa nilai-nilai keruhanian
adalah relatif.
Cox kemudian meneliti perubahan makna yang terjadi pada
kata seculerisasi. Menurut Cox, sejak awal, disebabkan oleh pengaruh
Hellenistik, makna kata seculer sudah merujuk kepada sesuatu yang inferior
(rendah). Sekuler sudah bermakna perubahan ‘di dunia ini’ yang bertentangan
dengan ‘dunia agama’ yang kekal abadi. Implikasinya, dunia agama yang kekal
abadi, yang tidak berubah adalah benar. Karena itu, ia lebih hebat dari dunia
seculer yang berlaku dan bersipat sementara.
Makna kata seculer semakin memiliki konotasi negatif
ketika terjadinya sintesis pada abad pertengahan antara Yunani kuno dengan
Ibrani (Hebrew). Sintesis itu ialah bahwa dunia ruang (spatial world) lebih
tinggi dan lebih agamis, sedangkan dunia sejarah yang berubah adalah lebih
rendah. Ini sebenarnya pengaruh filsafat Hellenistik kepada ajaran Kristen,
simpul Cox. Padahal, Bible sudah mnejelaskan bahwa dibawah kekuasaan Tuhan
segala kehidupan tergambar didalam sejarah. Ajaran Bible menyatakan bahwa
kosmos tersekularkan. Tapi, pernyataan ini telah kehilangan gaungnya. Kata
sekulerisasi, yang awalnya memuiliki makna yang sangat sempit dan khusus,
kemudian perlahan-lahan meluas. Sekulerisasi yang pada awalnya bermakna proses
pindahnya tanggung jawab pendeta yang agamis menjadi seorang parokia, semakin
luas menjadi pemisahan kekuasaan antara paus dan kaisar. Sekularisasi bermakna
pembagian antara institusi spritual dan sekular. Sekulerisasi bermakna
pindahnya tanggung jawab tertentu dari gereja kekuasaan politik.
Makna yang sudah meluas ini terus berlanjut dalam periode
masa pencerahan dan revolusi perancis. Bahkan sekarang pun makna seperti ini,
tetap digunakan di negara-negara yang mewarisis budaya katolik. Konsekuensinya,
proses pindahnya sebuah sekolah atau sebuah rumah sakit dari gereja
keadminisrtasi pablik, misalnya disebut sekulerisasi. Makna ini, kemudian
berubah akhir-akhir ini. Sekulerisasi bermakna gambaran sebuah proses pada
level budaya, yang paralel dengan level politik. Sekulerisasi berarti hilangnya
diterminasi (ketergantungan) agama terhadap sombol-simbol integrasi budaya.
Sekulerisasi budaya adalah hal yang lazim dan tak dapat dihindari dari
sekulerisasi pilitik dan sosial.
Jadi, dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis.
Karena itu, sekulerisasi adalah proses penduniawian hal-hal yang memang
bersifat duniawi. Penjelasan Cox ini identik dengan penjelasan Nurcholis majid
tentang sekulerisasi dan ‘penduniawian’. Menurut Nurcholish, konsep dunia
sebagai tempat hidup yang bernilai rendah dan hina bertentangan dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, ummat Islam tidak diperbolehkan curiga kepada kehidupan
duniawi ini, apalagi lari dari realitas kehidupan duniawi. Sehingga,
sekulerisasi adalah proses penduniawian.
Setelah melacak secara etimologis perubahan makna yang
terjadi pada kata sekulereissi, Cox kemudian membedakan antara sekulerisasi
dengan sekularisme. Menurut Cox,
sekulerisasi mengimplikasikan proses
sejarah yang hampir pasti tidak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu
dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup .
Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan. Sebaliknya,
adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang
tertutup dan fungsinya sama dengan agama.
Selain itu, lanjut Cox, sekulerisasi itu berakar dari
kepercayaan Bible. Pada tarp tertentu, ia adalah hasil otentik dari aplikasi
kepercayaan Bilbe terhadap sejarah barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda
dengan sekularisme yaitu ideologi yang tertutup. Bagi Cox sekularisme membahayakan
keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh sebab itu,
sakularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi ideologi Negara.
Harvey Cox berpendapat bahwa gagasan sekularisasi sangat
didukung oleh ajaran-ajaran Bible. Cox menjustifikasi pandangan ini dengan
mengutip pandangan Friederich Gogarten, seorang teolog Jerman, yang mengatakan,
“Sekularisasi adalah konsekuensi sah dari implikasi keimanan Bible terhadap
sejarah.” Cox menambahkan terdapat tiga komponen penting dalam Bible yang
menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, Yaitu: ‘disenchantment of nature’
yang dikaitkan dengan penciptaan (creation), ‘desacralization of politics’
dengan migrasi besar-besaran (exodus) kaum yahudi dari mesir dan
‘deconsecration of values‘ dengan perjanjian Sinai (Sinai Copenant).
Oleh : Adnin Armas,
Peneliti Institut for The Study of
Islamic Thought and civilizatian ( INSIST )
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)