Apakah
yang kita lakukan hari, kemarin , lusa dan hari
esok, apakah ia sudah berkualitas baik, lebih baik, atau lebih
buruk..??Mungkin begitulah pertanyaan
yang menyelidik tentang diri dan prilaku kita seiring berjalannya waktu, yang
semakin hari, semakin tak terasa jauhnya meninggalkan garis star kehidupan
pertama kali kita, menuju garis finis, yang kita tak tahu apakah kita sampai
pada garis itu sebagai juara, atau sebagai pecundang yang tak mendapatkan
medali apa-apa. Kalau kita bertanya seperti itu berarti kita masih menyadari
bahwa kita bisa memaksimalkan kehidupan yang tersisa, tanpa perlu menunggu
wejangan orang lain.
Tak
terlalu susah untuk mendapat wejangan tentang pernik-pernak kehidupan, tak
tempat dan alasan untuk mengatakan aku tak tahu, dan tak ada yang memberi
tahuku hal-hal yang perlu saya pahami. Kita selalu berada pada dunia yang
selalu meyiapkan segala halnya, yang hanya membutuhkan kemauan untuk
mendapatkan dan memilikinya. Tak ada yang perlu kita sesalkan jika kita sudah
melakukan yang seharusnya kita lakukan.
Sudah
seharusnya kita, sepanjang hidup kita melakukan koreksi, evaluasi terhadap perbuatan
dan pemahaman kita. Hal seperti itu sudah menjadi bagian integral dari
orang-orang yang sukses, dan orang-orang yang memberi arti kehidupan bagi orang
lain dan dirinya. Ada beberapa hal mengapa orang itu selalu melakaukannya,
salah satu diantara, dengan melakukan evaluasi dan koreksi terhadap pemahaman
dan tindakan kita, manusia bukanlah mahluk sempurna, ia sering khilaf dalam pemahaman dan prilakunya, mungkin ia terburu-buru, ada kepentingan sesaat, atau bias-bias
yang di sebabkan oleh orang lain atau lingkungan, sehingga kemungkinan ia
melenceng dari keadaan ideal sangat
memungkinkan, sehingga evaluasi/koreksi menjadi suatu keharusan, untuk
mendapatkan kondisi ideal yang di yakini.
Prinsip-prinsip
seperti tidak hanya di miliki oleh orang-orang dalam suatu
agama tertentu, akan tetapi suatu prinsip universal yang di miliki oleh setiap manusia, jika ia
menggunakan fitrah dan potensi yang ada pada dirinya. Perinsip seperti ini juga
bukan menopoly individu untuk memperbaiki kualitas
diri menjadi lebih baik, hampir semua mempergunakannya, dari negara, lembaga
penelitian, organisasi, atau ormas. Dalam level individu dalam Islam biasa di
sebagai perinsip muhasabah, yang juga di jalankan secara ketat oleh para Nabi, Alim, fuqaha dan cerdik cendikia dalam sejarah Islam. Di mana di ceritakan seorang ulama selalu bermuhasabah setiap
dia mau tidur di malam harinya, dengan melakukan
intropeksi, evaluasi dan koreksi terhadap pemahaman dan tindakannya selama
sehari itu. Walaupun kita tahu bahwa orang yang ketat melakukan laku seperti
ini adalah para Nabi, cerdik pandai,
orang-orang alim para salaf, yang kehidupan kesehariannya sangat teratur dan sesuai
dengan ajaran Islam dan prinsip universal, tapi mereka
toh selalu melakukannya, mereka sepenuhnya meyakini salah prinsip mulia yang
menyatakan bahwa hari hari ini harus lebih baik dari kemarin, esok harus lebuh
baik dari hari ini, dan lusa haerus lebih baik dari esok.
Bagaimanakah kita ini..??
Menyepelekan, mungkin itu yang sering kita lakukan, kita
tidak terlalu memahami kondisi atau masalah yang melingkupinya, serta
dampak-dampaknya, sehingga seseorang menganggap enteng/menyepelekan sesuatu
itu, dalam konteks ini adalah muhasabah (terminologi Islam). Bagaimanapun menjadi
lebih baik bagian yang selalu diharapkan/diinginkan oleh hampir setiap orang,
tapi tidak selalu di harapkan dalam perbuatan dan tindakan, sehingga
harapan/keinginan tersebut, hanya sampai pada tahap idealisasi.
Ada usaha yang harus dilakukan untuk memperjuangkan, ada
harga yang harus dibayar dalam mendapatkan sesuatu, ada kerja keras yang
dilakukan secara konsisten, ada kesabaran yang dibutuhkan, ada pemahaman yang
baik yang harus dicapai, jika kita benar-benar menginginkan apa yang menjadi
cita-cita.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)