ISTILAH intelektual organik merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang
mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya
gap antara teori dan praktik. Bagi mereka, tidak cukup peran intelektual jika
hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya, lebih dari itu, perannya
bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak.
Dalam studi civil society, beberapa komponen masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai aktor gerakan masyarakat sipil (GMS) di antaranya adalah cendekiawan, LSM, pers/media, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil (non-interest groups).
Dalam struktur sosial, meski belum
betul-betul membumi, komponen-komponen itu sering disebut intelektual organik.Reformasi
merupakan satu fase yang sedikit banyak lahir dari upaya intelektual organik.
Berbagai gerakan perlawanan terhadap keberadaan negara (state) yang
eksploitatif mereka lakukan.
Misalnya, gerakan penyadaran HAM, jender, penyelamatan lingkungan, dan pemberantasan korupsi. Karena itu, tidak mengherankan jika perlawanan itu selalu berakhir dengan kenyataan pahit, seperti mulai dengan pembredelan SIUPP pers/media sampai dengan penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis HAM.
"Frozen resistance"
Misalnya, gerakan penyadaran HAM, jender, penyelamatan lingkungan, dan pemberantasan korupsi. Karena itu, tidak mengherankan jika perlawanan itu selalu berakhir dengan kenyataan pahit, seperti mulai dengan pembredelan SIUPP pers/media sampai dengan penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis HAM.
"Frozen resistance"
Memasuki era reformasi yang mulai
compang-camping, gerakan intelektual organik mulai menunjukkan titik beku meski
sebenarnya mereka enggan untuk muncul di permukaan. Namun, kini berbagai proses
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat sipil mulai memperlihatkan kondisi
yang cukup mengkhawatirkan.
Bekunya gerakan itu bisa dilihat dari sisi kemasan isu dan dana. Beberapa isu yang diangkat dalam hampir bisa dipastikan semuanya merupakan isu yang sudah di set-up di negara maju (Core State). Dengan demikian, isu yang diwacanakan lebih bersifat titipan meski ada juga yang bergerak dengan isu yang dikemas secara mandiri.
Sebagaimana diketahui, beberapa aktivitas intelektual organik dalam GMS tidak lepas dari masalah pendanaan. Secara institusional dan individual, keberadaan GMS, diakui atau tidak, sangat bergantung pada kucuran dana yang diperoleh dari funding agencies. Akibatnya, beberapa isu yang akan diangkat intelektual organik setidaknya harus menyesuaikan dulu dengan isu atau program yang dimiliki oleh funding agencies.
Bekunya gerakan itu bisa dilihat dari sisi kemasan isu dan dana. Beberapa isu yang diangkat dalam hampir bisa dipastikan semuanya merupakan isu yang sudah di set-up di negara maju (Core State). Dengan demikian, isu yang diwacanakan lebih bersifat titipan meski ada juga yang bergerak dengan isu yang dikemas secara mandiri.
Sebagaimana diketahui, beberapa aktivitas intelektual organik dalam GMS tidak lepas dari masalah pendanaan. Secara institusional dan individual, keberadaan GMS, diakui atau tidak, sangat bergantung pada kucuran dana yang diperoleh dari funding agencies. Akibatnya, beberapa isu yang akan diangkat intelektual organik setidaknya harus menyesuaikan dulu dengan isu atau program yang dimiliki oleh funding agencies.
Karena itu, wajar jika beberapa isu yang diangkat lebih banyak mencerminkan isu global yang seringkali tidak memiliki ikatan emosional dengan masyarakat lokal yang diperjuangkannya.
Dengan isu global itu, intelektual
organik-dengan tanpa sadar-sebenarnya lebih banyak mengusung wacana yang
dihadapi dan terjadi di negara-negara maju ketimbang masalah yang sebenarnya
dihadapi oleh masyarakat sipil di negara berkembang (periphery).
Kurang waspadanya intelektual
organik dalam mengangkat isu itu akhirnya ikut mempengaruhi struktur mental dan
pengetahuan mereka. Dalam struktur mentalnya, mereka seringkali menempatkan
dirinya sebagai Ratu Adil yang jika tanpa dirinya, persoalan itu tidak akan
selesai.Bahkan, dengan keyakinan yang amat tinggi mereka menganggap masyarakat
sebagai obyek, sehingga masyarakat perlu disadarkan dari kelelapannya.
Dengan kondisi struktur mental dan
pengetahuan seperti itu, intelektual organik seringkali bersikap dan
berperilaku lumpen borjuis, yang dengan gaya hidupnya mereka sengaja
mengidealkan diri mereka sebagai kelas trans-nasional, yang justeru sebenarnya
malah semakin menjauhkan diri mereka dari kenyataan.
Dengan kondisi mental yang cenderung elitis, lugu dalam menangkap isu dan rendah dalam tingkat kesejahteraan, tidak salah jika sebagian masyarakat ada yang menganggap perjuangan mereka tidak lebih sebagai bentuk kepanjangan tangan dari sistem besar, yaitu kapitalisme global.
Dengan kondisi mental yang cenderung elitis, lugu dalam menangkap isu dan rendah dalam tingkat kesejahteraan, tidak salah jika sebagian masyarakat ada yang menganggap perjuangan mereka tidak lebih sebagai bentuk kepanjangan tangan dari sistem besar, yaitu kapitalisme global.
Anggapan ini terutama dapat kita
lihat dari kecenderungan intelektual organik yang memiliki ?cita-cita
besar" untuk masuk media atau menjadikan media sebagai faktor utama dalam
sosialisasi diri dan statusnya dengan cara menumpang hidup dari wacana yang
diusungnya.
Wawancara dan advokasi mereka tak
ubahnya selebrasi dari panggung besar bernama demokratisasi. Intinya, dengan
masuk media, kelas terdidik menganggap, tugasnya sebagai agen pencerahan telah
selesai.
Apa yang kita lihat dalam struktur
mental dan pengetahuan intelektual organik dalam GMS akhirnya menyakinkan kita
tentang struktur berpikir kelas terdidik yang didominasi nalar negara yang
bertendensi menguasai nalar masyarakat.
Dengan model nalar negara itu, intelektual organik tidak saja melanggengkan kehendak untuk benar (will to truth), tetapi juga telah menggeser dirinya berkehendak untuk berkuasa (will to power).
Dengan model nalar negara itu, intelektual organik tidak saja melanggengkan kehendak untuk benar (will to truth), tetapi juga telah menggeser dirinya berkehendak untuk berkuasa (will to power).
Bergesernya peran mereka-dari agen
pencerahan menjadi pelanggeng hegemoni-terjadi seiring dengan semakin kuatnya
budaya patron di kalangan kelas terdidik yang tidak lain untuk kepentingan
eksistensi diri, status dan akumulasi modal. Disinilah, doktrin knowledge is
power benar-benar dipahami dan dijalankan dengan pragmatis dan ironis.
Banyaknya intelektual organik yang
kini banyak menjadi dewan pakar di partai-partai politik sebenarnya merupakan
satu langkah mulia, yaitu untuk memberi warna baru dalam perpolitikan.
Tetapi fakta di lapangan sering
berbicara lain. Perpindahan intelektual organik dari GMS (civil society) ke
partai (political society), sebaliknya, lebih cenderung menjadi penyokong dari
setiap kebijakan politisi urakan. Mereka oleh Noam chomsky disebut dengan
secular priesthood, yaitu intelektual yang tugasnya menyiapkan dasar legitimasi
kekuasaan dan kebijakan partai-partai politik. Karena itu, adalah suatu hal
yang wajar jika kini distribusi pengetahuan dan kontribusi intelektual organik
terhadap penyadaran dan penguatan GMS dipertanyakan.
Terjadinya disorientasi kebangkitan kelas terdidik di tengah kondisi kehidupan negara dan masyarakat yang serba ambigu ini akhirnya akan membuktikan kata-kata Edward Said yang menyebut mereka sebagai ?imperialis terdidik" baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terjadinya disorientasi kebangkitan kelas terdidik di tengah kondisi kehidupan negara dan masyarakat yang serba ambigu ini akhirnya akan membuktikan kata-kata Edward Said yang menyebut mereka sebagai ?imperialis terdidik" baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ibarat marsose di zaman kolonial,
intelektual organik tidak saja melanggengkan kolonialisme dari Negara Pertama
terhadap Negara Ketiga, tetapi juga telah menciptakan kolonialisme dan
imprealisme pikiran, yaitu dari kelas uneducated people menjadi well informed
people. Well informed people disini bukan berarti mereka saja yang bisa sekolah
ke luar negeri, tapi bisa juga intelektual dalam negeri yang sering memberi
legitimasi atas terjadinya pembekuan kebangkitan kelas terdidik, seperti
mencari patron.
Demikian pula dengan uneducated
people. Sebutan ini bukan hanya untuk mereka yang tidak mendapatkan akses dalam
pendidikan, tetapi juga termasuk mereka yang secara tidak sadar telah
terkooptasi struktur mental dan pengetahuannya oleh struktur negara, sehingga
tidak ada lagi kemampuan dan keinginan untuk bergerak secara mandiri.
Karena itu, kaum intelektual organik
harus menyadari betul bahwa berdiri di posisi ini bukan berarti kita bebas
nilai dan netral, tetapi adakalanya kita bisa terjerumus secara tidak sadar ke
dalam sistem yang eksploitatif dan manipulatif.
Lalu, sudahkah kita merenung apa
yang telah kita pikirkan dan lakukan kemarin?
Oleh : Salman Al Farisi
Oleh : Salman Al Farisi
Technical Assistant LEMLITBANG PonPes Nazhatut Thullab
Sampang; Jaringan Komisi (JARKOM)Fatwa Surabaya
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)