pukulan, tendangan dan cacian. Ia terbaring di jalan dan dibiarkan teronggok bagai sampah.
Para pengeroyok, si ‘hakim-hakim’,
sang ‘jaksa-jaksa’ dan ‘eksekutor-eksrekutor’ itu pun melakukan penggeledahan.
Di kantong sang pencuri terdapat sebuah resep yang belum ditebus dengan
berlabel nama Ny. X yang kemudian dicocokkan dengan tanda pengenal sang
pencuri. Ternyata, Ny. X adalah isteri tercinta dari sang pencuri. Ny. X sedang
terbaring sakit parah dan membutuhkan obat yang tertera pada resep. Ny. X
menjadi sang ‘juara mengharap satu’, obat tak kunjung datang dan mayat sang
suamilah yang tiba. Tragis..!
Inilah sepengalan kisah nyata
yang terukir dalam kilasan sejarah manusia yang mungkian jarang melakukan
pencatatan terhadap tragedi serupa. Saya yakin, anda punya kesimpulan yang sama
tentang motif sang pencuri untuk melakukan tindakan terkutuk tersebut. Ia pasti
sedang terdesak, Ia terpaksa melakukan dan melakoninya, karena ia bermain dalam
panggung drama kehidupan, teater kesedihan dalam lakon cerita kemiskinan yang
mengharuskan ia mencari uang dengan cara yang nota bene adalah pencurian.
Kisah ini sesaat membuat saya
termenung dan terpekur. Pikiran saya melayang, masygul dan gundah gulana.
Sesaat, saya berfikir tentang bagaimana Tuhan sebagai “Sang Hakim Agung”,
menghadapi perkara macam ini. Terdakwanya adalah sang pencuri yang telah
melakukan dosa individual, ataukah massa pengeroyoklah si terdakwa yang pantas
duduk di kursi pesakitan karena
melakukan kesalahan berupa penghilangan nyawa orang lain ?
Kalau kita mau lebih menganalisa,
menurut saya, sang pencuri adalah korban. Korban dari dosa sosial kita semua
yang mempunyai keadaan ‘berkelebihan’ darinya yang dalam keadaan cul de sac
dan tanpa melakukan distribusi kekayaan berupa menunjukkan jalan finansial pada
mereka. Dosa sosial dari orang-orang yang menimbun hartanya dan menjadikan
perutnya adalah kuburan. Cuma itu ? Tidak ! Ia juga korban dari kesalahan
pembangunan dari rezim yang sama sekali tidak pernah melirik apalagi memihak
mereka. Buah dari kemiskinan yang ‘diciptakan’. Orang-orang miskin yang
jumlahnya sekian banyak tersebut adalah korban dari sistem sosial dan bukan
karena kesalahan individual yang terkesan klise, malas, bodoh dan lain-lainnya.
Mereka adalah korban dari bantuan JPS, pajak, zakat, khumus dan infak yang
tidak sampai dan terpotong oleh para pejabat penghisap.
Para pengeroyok juga merupakan
korban. Mereka adalah korban dari gagalnya para penegak hukum membangun supremasi
hukum. Mereka adalah korban-korban dari para penegak hukum yang berperan
ganda menjadi para penggerogot hukum. Mereka sakit secara sosial, karena
bakteri hakim sogokan, jaksa yang terjual, polisi yang hanya memikirkan rupiah
dan sarjana-sarjana hukum yang bangga karena berhasil meloloskan kliennya dari
jerat hukum. Mereka gelap mata, tak punya pelindung, dan melakukan teknik
perlindungan untuk melindungi
kepemilikan mereka yang pada saat yang sama tidak mendapat perlindungan hukum
dari para penegak hukum.
Lalu siapakah yang paling
bertanggungjawab ? Mereka semuanya hanyalah korban dari rezim yang lebih
memperhatikan kursi kepresidenan ataupun jabatan daripada perut dan keadaan
mereka. Mereka semuanya korban dari orang-orang elit yang sama sekali enggan
berpaling pada mereka. Mereka semuanya adalah korban dan bukan tersangka...
Tuhan yang adil pasti mempunyai
hukuman yang pas bagi mereka, dan kita hanya bisa mendoakan mereka yang menjadi
korban dan melaknat orang-orang yang menjadikan seseorang atau suatu kaum
sebagai korban.
Dan hanya Dia Yang Maha Tahu,
Yogyakarta, 2 Agustus 2001
Zainal A.M. Husein
Sekretaris Pelaksana Yayasan RausyanFikr
Sekretaris Pelaksana Yayasan RausyanFikr
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)