Negara kita
negara hukum, yang seharusnya menegakkan aturan dan sanksi yang tegas pada setiap pelanggar hukum, bukan pilih kasih, karena semua warga Negara sederajat dan sama di depan hukum, dan undang-undang
sudah sangat jelas mengaturnya. Negara yang menerapkan hukum sebagai panglima, maka
warganya akan mendapat keadilan dan haknya. Logika
hukum menyatakan bahwa setiap pelanggar
akan mendapat sanksi yang
sesuai/setimpal dengan pelanggarannya. Tapia apa yang terjadi disini,
hukum menjadi pilihan kedua dan
menempatkan politik sebagai panglima, dimana politik begitu gmpang terjebak dengan berbagai kepentingan. Hukum disini menjadi milik dan di kendalikan segerombolan bandit-bandit politik yang rakus, yang selalu mencari celah-celah kelemahan hukum dan penegak hukum, sehingga ruang publik kita sangat jarang menemukan kebenaran, kecuali kebenaran yang telah termanipulasi.
menempatkan politik sebagai panglima, dimana politik begitu gmpang terjebak dengan berbagai kepentingan. Hukum disini menjadi milik dan di kendalikan segerombolan bandit-bandit politik yang rakus, yang selalu mencari celah-celah kelemahan hukum dan penegak hukum, sehingga ruang publik kita sangat jarang menemukan kebenaran, kecuali kebenaran yang telah termanipulasi.
Berulangkali
kita mendengar bahwa banyaknya ketidakadilan yang terjadi di negeri
ini, dimana hukum adalah second dan politiklah sebagai yang dominan yang dibeking
oleh kapital yang melimpah. Karena para politikus berubah menjadi seorang kapitalis rakus yang hanya memanfaatkan masyarakat sebagai jalan dan alamat untuk meraih akumulasi kapital yang banyak. Itulah ironis Negara hukum dan demokrasi, yang segalanya di kembalikan kepada rakyat,
tapi sayangnya hanya sebagai penggembira sekaligus korban dari demokrasi. Mereka hanya di perlukan jika sang calon
penguasa/pemodal membutuhkan suaranya untuk meraih kursi
kekuasaan.
Makanya
berbicara tentang mayoritas-minoritas, saya jadi sangsi tentang apa yang kita maksud dengan mayotritas-minoritas di negeri ini. apakah akumulasi oleh banyaknya massa, atau hanya kumpulan orang yang mampu menentukan segala hal, ketika di
hubungkan proses ketidakadila dan diskriminasi, seperti banyak orang sering
menyebutnya, bahwa dimana ada Mayoritas maka disitu ada minoritas yang akan tertindas dan dijadikan permainan.
Wacana
mayoritas-minoritas seringkali dan hampir bisa dipastikan selalu dihubungkan dengan Suku, Agama dan Ras (SARA). Apakah memang
begitu adanya, karena jika ada konflik antara suatu kelompok, pasti kita dengan cepat akan menyebut bahwa itu pasti
dilakukan oleh mayoritas. Apakah cara berpikir
seperti ini memag cocok, atau kita sudah terbiasa dengan maenstrem, bahwa yang
besar akan mengusur yang kecil, tapi proposisi itu tidak tepat bahkan bisa sama sekali salah, pada situasi dan konteks tertentu, karena kita tak memperhatikan yang lain
kecuali pada kuantitas (jumlah) bukan pada
motif dan latar belakang terjadinya sebuah peristiwa/kejadian, sehingga wacana mayoritas-minoritas adalah dagangan yang
begitu laku dan cepat tersaji kepublik.
Kalau kita
mau jujur, minoritas-mayoritas dalam masyarakat Indonesia, adalah kelompok yang terdiskriminasi dan terpinggirkan, yang
tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, yang tidak punya akses pada kesehatan
yang layak, yang tidak diperhatikan kesejahteraan, apakah mayoritas atu
minoritas...?? wacana mayoritas-minoritas bagi saya sangat tidak relevan bila
itu di hubungkan dengan kondisi Indonesia. lantas kalau begitu siapa
yang melakukan diskriminasi, penindasan dan pengabaian hak-hak sipil. Tentunya bukan
mayoritas atou minoritas yang selalu kita pahami.
Secara pribadi
saya menilai bahwa hampir setiap konflik SARA di Indonesia kental dengan nuansa politik, baik itu
nasional atau lokal, yang sengaja di ciptakan untuk
mendapatkan popularitas, kekuasaan dan materil. Karena konflik yang melibatkan SARA sangat gampang untuk di
sulut, karena ikatan primordial masih begitu kental dimasyarakat kita, sehingga
bila kita mendapatkan situasi seperti itu, seharusnya menyadarkan kita bahwa
begitu gampangnya kita dimanfaatkan oleh orang-orang punya kekuasaan, dan mereka entengnya
menikmati setiap pertikaian dan kesengsaraan kita.
Para
penguasa adalah minoritas yang punya kekauatan, dan kemampuan yang sering
kali tidak kita sadari, ang memecah belah demi kepentingan ekonomi
politik yang terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan, modal, sehingga ruang publik menjadi ajang merebut pengaruh. Kita adalah mayoritas
yang diam yang sesungguhnya bisa melakukan perubahan, jika dari awal atau
sekarang kita menyadarinya, karena jika, tidak kita akan terus menjadi mangsa
sekaligus alamat disaat mereka memerlukan kita untuk menuju mencapai kekuasaan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)