Showing posts with label Peradaban. Show all posts
Showing posts with label Peradaban. Show all posts

May 01, 2012

Melacak “Akar” Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia


Abstract

Student movement is a part of history in Indonesiathat always active to take a part of every change period.  They called as an agent of change. However, there is not enough data, principally ideology, to explain the attribute. This article tries to investigate ideology of student movement, especially Islamic student movement in Indonesia

Among them are: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah(IMM) and Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). The article also explored their political expression

September 22, 2011

Dialog Antar peradaban ?

Kita berada di awal abad ke 21 dan meninggalkan di belakang kita suatu abad yang penuh dengan ketidakadilan, kekerasan dan pertikaian. Telah saya katakan sebelumnya bahwa saya menghormati bangsa Amerika yang besar. Peradaban Amerika layak dihormati.

Ketika kita menghargai akar peradaban ini, nilai pentingnya bahkan lebih terlihat.  Peradaban Amerika mulai dibangun di New England dan secara perlahan menyebar ke seluruh Amerika. Dalam pertumbuhannya, peradaban ini sempat bertikai dengan beberapa gerakan jahat yang akhirnya melahirkan perbudakan. Namun, dalam perjalanannya, perbudakan ini dapat dihapuskan. banyak martir yang telah  memberikan nyawa mereka dalam perikaian ini. Yang paling terkenal adalah Abraham Lincoln, seorang presiden  Amerika berwatak kuat dan berpikiran moderat.

September 16, 2011

Al- Qur’an Dan Konteks Sosial

Terlebih dahulu harus dijelaskan mengapa topik pembicaraan kali ini diletakkan dalam kerangka yang tertera pada judul di atas. Pemahaman atas Al-qur’an harus dikembangkan melalui konteks tertentu, umtuk mencapai kesamaan bahsa dan peristilahan. Kesamaan itu diperlukan utnuk mencegah bersimpang-siurnya pembahasan antara para peserta dialog yang tiudak akan pernah selesai dalam pengembangan pemahaman al-Qur’an itu sendiri. 

Konteks yang dikehendaki bersama adalah kerangka kehidupan sosial kaum muslimin, yang sudah tentu dimengerti dalam situasinya yang ada kini. batasan ini sudah tentu menghendaki proyeksi situasi masa kini kaum muslimin ke dalam keadaan ideal di masa depan, yang sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari kenyataan-kenyataan yang hidup di masa kini, berupa warisan kesejarahan dari masa lampau dan perkiraan tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa depan. Dengan demikian, konteks kehidupan sosial yang dikehendaki adalah sesuatu yang baru, yang harus dicapai melalui perubahan-perubahan mendasar dalam konteks yang ada sekarang ini.

September 14, 2011

Satu Babak Dalam Kehidupan

Hidup senantiasa mengalir melewati berbagai macam tahapan di dalamnya. Ada tiga babak besar dalam tahapan kehidupan manusia, sebagaimana yang diucapkan Nabi Isa AS.
والسلام على يوم ولدت ويوم أموت ويوم أبعث حيا (مريم : 33)
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (Maryam : 33).

Tahapan kehidupan yang harus dilalui manusia itu, sesungguhnya hanyalah bentuk ujian dari Allah Ta’ala. Siapakah di antara manusia yang benar dalam keimanannya sehingga menjalankan amalan yang terbaik. Dan siapakah di antara manusia yang berdusta, sehingga asal-asalan dalam beramal. 

September 08, 2011

Tantangan Demokrasi Di Dunia Muslim

Beberapa tahun sebelum munculnya “gelombang baru” demokrasi sepanjang 1990-an, ahli ilmu politik Samuel Hutington mempertanyakan optimisme teoritis terhadap masa depan demokrasi. Huntington berhujja, bahwa “dengan beberapa pengecualian, batas perkembangan demokrasi di dunia telah tercapai”. Namun bangkitnya demokrasi di berbagai wilayah bekas Uni Soviet dan Eropa Timur telah menyalakan kembali optimisme publik dan para sarjana ilmu politik terhadap masa depan demokrasi. Selanjutnya, orang bisa menyaksikan salah satu tendensi kuat menjelang dan awal millennium baru ini, yakni pertumbuhan cepat negara-negara demokrasi, tidak terkecuali Indonesia.
Harus segera di akui, kecenderungan itu kelihatannya tidak terjadi di dunia muslim secara keseluruhan. Menurut laporan terakhir yang dikeluarkan The Freedom House New York, Desember lalu, berjudul “democracy gap” yang mencolok di Dunia Arab Muslim. Sejak 1970-an ketika “gelombang ketiga” demokrasi berlangsung hingga sekarang ini terlihat bahwa Dunia Muslim, khususnya di kawasan Arab terlihat sedikit sekali kemajuan dalam keterbukaan politik, respek terhadap HAM, dan transparansi. “Domocracy gap” di antara negara-negara Muslim dengan negara-negara lainya bahkan cukup dramatis. Dari 192 negara di Dunia sekarang ini, 121 adalah demokrasi electoral; tetapi di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, hanya 11 dari 47 negara (23 persen) yang memiliki pemerintah yang dipilih secara demokrasi. Sedangkan diluar dunia Muslim terdapat 110 negara demokrasi electoral dari 145 negara keseluruhan, atau 76 persen.
Tetapi laporan itu juga mencatat adanya “titik-titik cerah” (bright spots) demokrasi diwilayah-wilayah Muslim non-Arab seperti Albania, Bangladesh, Djibouti, Gambia, Indonesia, Mali, Niger, Nigeria, Senegal, Sierraleone, Turki, dan Iran. Meski fondasi dan perkembangan demokrasi di negara-negara ini kadang-kadang goyah, namun gejolak demokrasi sangat besar. Jika di wilayah Muslim non-Arab terdapat 11 dari 31 negara demokrasi electoral, maka tak satupun dari 16 negara mayoritas Arab yang merupakan negara demokrasi electoral. Di antara negara mayoritas Arab, satu (Tunisia) menggunakan sistem presidensial otoriter; dua (Libya dan Irak) menganut sistem dictator satu partai; empat (AL-jazair, Mesir, Syria, dan yaman) merupakan negara dengan partai politik penguasa dominan yang melumpuhkan seluruh kekuatan oposisi; sisanya sembilan negara adalah monarki absolute.
Adanya “bright spots” demokrasi yang masih memerlukan konsolidasi di antara negara-negara Muslim memberikan harapan bagi masa depan demokrasi. Dan ini sekaligus menunjukan, bahwa Islam tidak secara inheren tidak kompatibel dengan demokrasi. Tetapi, sekali lagi adanya”democray gap” dinegara-negara Muslim Arab tetap saja menimbulkan pertanyaan dan memerlukan pembahasan yang mendalam. Pembahasan terakhir mengenai masalah ini muncul dalam komprensi internasional “The Challenge of Democracy in The Muslim World” yang berlangsung di Jakarta pada 18-20 Maret 2002. Komperensi yang diselenggarakan The Mershon Center Ohio State University, PPIM IAIN Jakarta dan The Asia Foundation ini menghadirkan tidak kurang 15 ahli dengan reputasi internasional untuk membahas kasus-kasus dan pengalaman demokrasi di negara-negara muslim. Pembahasan tentang subyek ini terangkat dari teori dan pendekatan dalam kajian demokrasi di Dunia muslim dan dimensi internasional demokratisasi. Selanjutnya barulah dibahas studi kasus demokrasi di Mesir, Aljazair, Maroko, Tunisia, Arab Saudi, Iran, Turki, Negara Islam Asia tengah, Pakistan, Bangladesh, Afganistan, Indonesia, Malaysia, Mali, dan Senegal.
Mengapa demokrasi sulit tumbuh dan terkonsolidasi di negara-negara Muslim? Terdapat setidaknya 5 (lima) faktor penting yang menghambat pertumbuhan dan konsilidasi demokrasi di Dunia Muslim.
Pertama; adalah kelemahan dalam infrastruktur dan persyarat dalam pertumbuhan demokrasi. Sebagian besar negara Muslim terkebelakang dalam ekonomi dan pendidikan. Sebagian diantaranya memang benar-benar miskin; Tetapi juga terdapat negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi kelompok negara Muslim terakhir ini termasuk kedalam kategori weberian “soft states” di mana patrimonolisme (ptron client), korupsi, kronisme dan nepotisme sangat merajalela sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan mendistorsi perkembangan sosial budaya. Sebagian lagi dari negara-negara ini merupakan “rentier state” dimana hasil kekayaan alam di monopoli negara untuk kemudian “dirente” negara kepala rakyat, sehingga membuat mereka tergantung pada penguasa. Akibatnya, tidak ada insentif bagi negara untuk mendengarkan aspirasi rakyat dan, sebaliknya, tidak ada insentif bagi rakyat untuk menuntut partisipasi politik.
Kedua; adalah masih kuatnya pandangan normative teologis tentang kesatuan agama (din) dan negara (dawlah). Pandangan yang dianut masih cukup banyak Muslim ini berasal dari teori politik klasik islam (fiqh siyasah) dalam dimasa kini teraktualisasi eksperimen “negara Islam” (dawlah Islamiyyah) pada satu pihak dan gagasan khilfah  (kekhalifahan universal) pada segi lain. Dalam banyak segi, eksperimen dan gagasan kesatuan agama dan negara tidak kompatibel dengan demokrasi. Yang  terpenting di antara inkompatibilitas itu adalah bahwa dalam dawlah islamiyyah  dan khilafah kedaulatan setinggi adalah kedaulatan Tuhan (hakimiyyah Allah) yang intinya merupakan vox dei vox populi (suara Tuhan suara rakyat), sementara pada negara demokrasi kedaulatan berada pada rakyat (vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan). Pada tingkat hukum, vox dei itu diaktualisasikan dalam syariah.
Ketiga; adalah masih dominannya kultur politik tradisional yang berpusat pada kepemimpinan keagamaan kharismatis, yakni ulama, kiai, dan sebagiannya yang ditaklidi secara buta oleh sebagian umat Islam. Terdapat banyak ulama dan kiai yang ahli dalam fiqh siyasah mengambil alih begitu saja berbagai konsep pilitik Islam Klasik seperti ulil amri, bughat, jihad, baiat, dan sebagainya, tanpa melihat relevansi dan kompatibilitasnya dengan konsep dan praktik politik modern. Pengambilalihan konsep-konsep klasik untuk kepentingan politik dan status quo rezim penguasa tertentu itu telah melestarikan budaya politik tradisional yang tidak kompatibel dengan demokrasi.
Keempat; adalah kegagalan negara-negara muslim yang telah mengadopsi demokrasi untuk mempraktekkan demokrasi secara genuine dan otentik. Banyak rezim dinegara Muslim demokrasi, misalnya, sering menggunakan pendekatan dan cara tidak demokratis dalam menyelesaikan berbagai masalah dan tantangan yang mereka hadapi. Bahkan tidak jarang mereka menggunakan cara-cara kekerasan dan bahkan terorisme negara (state terrorism) yang pada gilirannya menciptakan lingkaran kekerasan yang tidak berujung. Lebih celaka lagi, banyak rezim seperti ini didukung Amerika serikat dan negara barat lainya, sehingga akhirnya menghilangkan kepercayaan pada demokrasi dan, dengan demikian, mengalienasikan para pendukung demokrasi dinegara Muslim bersangkutan.
Kelima; adalah lemahnya atau tidak berfungsinya civil society. Berbagai kajian mutakhir menunjukkan, bahwa masyarakat madani dalam berbagai bentuknya terdapat di hampir seluruh dunia Muslim. Tetapi kebanyakan mereka tidak dapat memainkan peran instrumentalnya dalam pertumbuhan demokrasi, apakah karena mereka telah dikooptasi negara atau mengalami disfungsi dan disorientasi karena keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis.
Memandang berbagai faktor yang menghambat pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi itu, maka tantangan penguatan dan pemberdayaan demokrasi di negara-negara Muslim bukanlah suatu yang mudah. Tetapi, pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di negara-negara Muslim termasuk di Indonesia bukanlah tanpa harapan. Titi-titik terang yang sudah ada dalam bentuk sistem politik dan kenegaraan pada dasarnya sudah demokratis, yang didukung eksistensi pers bebas, menguatnya wacana tentang HAM dan pluralitas, kebebasan berserikat dalam masyarakat madani merupakan modal dasar yang perlu dijaga dan di berdayakan. Penguatan semua ini akan memberikan sumbangan penting bagi pembentukan good goverenance yang pada gilirannya dapat memulihkan dan memperkuat kepercayaan kepada demokrasi. Wallahu a’ lam bi shawab.

Oleh : Azyumardi Azra (Guru Besar sejarah UIN Jakarta)











September 02, 2011

Cara Belajar Efektif

Langkah-langkah belajar efektif adalah mengetahui  diri sendiri  kemampuan belajar anda  proces yang berhasil anda gunakan, dan dibutuhkan  minat, dan pengetahuan atas mata pelajaran anda inginkan  Anda mungkin belajar fisika dengan mudah tetapi tidak bisa belajar tenis, atau sebaliknya. Belajar apapun, adalah proces untuk mencapai tahap-tahap tertentu.

Empat langkah untuk belajar. 
Mulai dengan cetak halaman ini dan jawab pertanyan-pertanyaannya.  Lalu rencanakan strategi anda dari jawaban-jawabanmu, dan dengan "Pedoman Belajar" yang lain. 

September 01, 2011

Redefenisi buta huruf

Belajar selalu merupakan pemberontakan. Tiap bit penemuan kebenaran baru bersifat revolusioner terhadap apa yang sebelumnya dipercayai. [Margaret Lee Runbeck]

Dr. Ahmad Syafii Maarif, Ketua PP Muhammadiyah, dalam berbagai kesempatan menyatakan kepihatinannya terhadap hasil-hasil pendidikan sekolah formal di negeri kita ini. Namun, untuk tidak terjebak pada pesimisme, ia juga mencoba mengingatkan bahwa secara kuantitatif sudah ada kemajuan. Setidaknya dikatakan bahwa pada masa awal Indonesia merdeka, jumlah penduduk yang buta huruf mencapai angka 90-an persen. Sementara dewasa ini, penduduk yang masih belum bisa membaca dan menulis berkisar antara 10-15 persen. Jadi, sambil terus berusaha memperkecil angka-angka kuantitatif itu, semua pihak seharusnya ikut aktif dalam mengusahakan peningkatan kualitatif atau mutu dunia persekolahan.

The Learning Revolution

Ada yang menarik berkaitan dengan buku The Learning Revolution karya Dryden dan Vos. Buku ini telah dua kali didiskusikan (lebih tepat: dibedah). Diskusi pertama berlangsung di Solo dan hasilnya dilaporkan oleh situs Detikcom. Diskusi ini berlangsung pada Sabtu, 9 Desember 2000. Menurut hasil diskusi tersebut, sebagaimana dilaporkan Detikcom, "The Learning Revolution: Model Pendidikan yang Mustahil Dijalankan". 

Diskusi kedua berlangsung di Yogyakarta pada 10 Februari 2001. Sebagaimana dilaporkan oleh situs Mizan.com, yang laporannya ditulis sebelum diskusi berlangsung, diskusi tersebut menghadirkan pembicara Dr. Komaruddin Hidayat, Khoiruddin Bashori, dan saya sendiri. 

August 27, 2011

Intelligent Design

Abad ke-19 menyaksikan sebuah kekeliruan terbesar dalam sejarah umat manusia. Ini berawal dengan dikenalkannya filsafat materialis warisan Yunani kuno kepada pemikiran bangsa Eropa. 

Kekeliruan ini adalah teori evolusi Darwin. Sebelum kemunculan Darwinisme, biologi diterima sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membuktikan keberadaan Tuhan. Dalam bukunya Natural Theology, biologiwan terkenal William Paley menyatakan, “Setiap jam menunjukkan keberadaan pembuat jam, rancangan di alam membuktikan keberadaan Tuhan.”


Tinggal Jejak Di Sini atau di kotak Komentar..!!

KOMPAStekno

Jaringan Pertemanan

inet.detik