Setiap anggota tentu ada tugasnya, tugas akal ialah merenung, memeriksa, memikirkan dan mengamati. Jika kekuatan semacam ini menganggur maka hilang pulalah pekerjaan akal, juga menganggurlah tugasnya yang terpenting dan ini pasti akan diikuti oleh terhentinya kegiatan hidup. Jika ini sudah terjadi, akan menyebabkan pula adanya kebekuan, kematian dan kerusakan akal itu sendiri. Agama Islam menghendaki agar akal bergerak dan melepaskan kekangannya segera bangun dari tidur nyenyaknya kemudian mengajak untuk mengadakan perenungan dan pemikiran. Pekerjaan yang sedemikian ini termasuk inti peribadatan kepada Tuhan. Allah Taala berfirman, “Katakanlah! ‘Perhatikanlah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi." (Q.S. Yunus:101)
Allah Taala berfirman pula, “Katakanlah! ‘Aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara saja yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah, dua-dua orang atau seorang-seorang, kemudian berpikirlah kamu semua (gunakanlah akal pikiranmu)’" (Q.S. Saba:46)
Barangsiapa yang mengingkari kenikmatan akal dan tidak suka menggunakannya untuk sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh akal, melalaikan ayat-ayat dan bukti-bukti tentang wujud dan kekuasaan Allah Taala, maka orang semacam itulah yang patut sekali mendapat cemoohan dan hinaan. Malah Allah Taala sendiri telah mencela sekali orang semacam itu dengan firman-Nya, “Alangkah banyaknya ayat (tanda kekuasaan Tuhan) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak memperhatikannya).” (Q.S. Yusuf:105) Allah Taala berfirman pula, “Tidaklah datang kepada mereka itu suatu ayat dari beberapa ayat Allah melainkan mereka itu membelakanginya saja (tidak memperhatikannya).” (Q.S. Yasin:46)
Menganggurkan akal dari tugas utamanya, akan menurunkan manusia itu sendiri ke suatu taraf yang lebih rendah dan lebih hina dari taraf binatang. Keadaan seperti itulah yang merupakan penghalang besar bagi umat yang dahulu untuk langsung menembus kepada hakikat-hakikat yang ada di dalam diri, jiwa dan alam semesta.
Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia, yang mempunyai hati, tetapi tidak mengerti dengan hatinya, mempunyai mata tetapi tidak melihat dengan matanya dan mempunyai telinga tetapi tidak mendengarkan dengan telinganya. Orang-orang itu seperti binatang ternak bahkan lebih sesat. Itulah orang-orang yang lalai (dari kebenaran).” (Q.S. Al-A’raf:179)
TAKLID ADALAH PENUTUP AKAL PIKIRAN
Taklid adalah penghalang besar terhadap kemerdekaan akal, kekang utama terhadap kebebasan berpikir. Oleh sebab itu, Allah Taala memuji sekali orang-orang yang dapat menjernihkan hakikat sesuatu menyisihkannya dari benda-benda lain, membedakan dan memurnikan benda-benda itu setelah dibahas, diperiksa, diteliti dan disaring oleh akal pikirannya, selanjutnya mengambil mana yang dianggap terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah Taala berfirman, “Maka berikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan ucapan lalu mengikuti mana-mana yang terbaik dari ucapan itu. Mereka itulah orang-orung yang memperoleh petunjuk Allah dan mereka itu pulalah arang-orang yang mempunyai akal pikiran.” (Q.S. Az-Zumar:17-18)
Allah Taala benar-benar mencela dan mengejek serta menyalahkan orang-orang yang suka mengekor dan mengikuti, yakni ahli taklid yang tidak suka menggunakan akal pikirannya sendiri. Mereka hanya mengikuti akal orang lain. Mereka betul-betul pasif sebab hanya mengikuti alam pikiran kuno yang sudah terbiasa dan berlangsung sejak dulu di sekitarnya sekalipun yang baru itu sebenarnya lebih tepat, lebih cocok lebih sesuai dan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena sejalan dengan petunjuk dari Tuhan. Allah Taala berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah!’ Mereka lalu berkata, ‘Tidak, kita hanya mengikuti apa yang telah kita dapati dari ayah-ayah kita,’ padahal ayah-ayah mereka itu tidak mengerti sedikit pun dan tidak pula mengikuti petunjuk yang benar.” (Q.S. Al-Baqarah:170)
BIDANG-BIDANG PEMIKIRAN
Agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan menggunakan akal, dengan anjuran yang demikian hebat. Tetapi yang dikehendaki bukanlah pemikiran secara tidak terkendalikan lagi kebebasannya. Semua itu dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan dalam batas yang tertentu yang memang merupakan lapangan bagi manusia dan yang dapat dicapai oleh akal manusia itu. Maka yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam hal ciptaan Allah Taala yakni apa-apa yang ada di langit, di bumi, dalam dirinya sendiri, dalam masyarakat manusia dan lain-lain. Tidak ada pemikiran yang dilarang, melainkan memikirkan zat Allah swt., sebab soal yang satu ini pasti di luar kekuatan akal pikiran manusia.
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Berpikirlah kamu semua perihal makhluk Allah (apa-apa yang diciptakan oleh Allah) dan janganlah kamu sekalian berpikir mengenai zat Allah, sebab sesungguhnya kamu semua sudah tentu tidak dapat mencapai keadaan hakikatnya.”
Diriwayatkan oleh Abu Naim dalam kitab “Alhilyah" dengan sanad daif tetapi isi dan maknanya sahih. Alquran sendiri penuh dengan beratus-ratus ayat (bukti dan tanda) yang mengajak kita semua untuk merenungkan keadaan alam semesta yang terbuka lebar dan luas di hadapan kita ini, beserta cakrawalanya yang tiada terbatas oleh suatu apa pun karena sangat besarnya dan tidak ada ujung pangkalnya. Allah Taala berfirman, “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu semua, agar supaya kamu suka berpikir tentang dunia dan akhirat.” (Q.S. Al-Baqarah:219-220) Alangkah luas dan lebarnya dunia yang diperintah oleh Islam untuk dipikirkan itu, tetapi sedemikian luasnya masih belum memadai sedikit pun dari keluasan yang terdapat di dalam alam akhirat.
TUJUAN PEMIKIRAN
Di antara tujuan utama yang dikehendaki oleh Islam dalam memerintahkan berpikir ialah untuk membangunkan akal dan menggunakan tugasnya dalam berpikir merenungkan dan menyelidiki, dengan demikian akan manusia akan sampai kepada petunjuk yang memberikan penerangan sejelas-jelasnya mengenai peraturan-peraturan kehidupan, sebab-sebab wujud alam semesta, tabiat-tabiat keadaan dan hakikat-hakikat segala sesuatu benda. Manakala hal-hal itu sudah terlaksana dengan baik, tentu akan dapat merupakan cahaya terang untuk menyingkap persoalan siapa yang sebenarnya menjadi maha pencipta dan pembentuk semuanya itu. Selanjutnya setelah ini diperoleh maka dengan perlahan-lahan akan dicapai hakikat yang terbesar yaitu bermakrifat kepada Allah Taala. Jadi kemakrifatan kepada Allah Taala yang sesungguhnya merupakan buah atau natijah daripada akal pikiran yang cerdik dan bergerak terus, juga sebagai hasil dari usaha pemikiran yang mendalam serta disinari oleh cahaya yang terang-benderang.
Inilah salah satu perantaraan yang digunakan oleh Alquran untuk memberikan pembuktian tentang Allah Taala. Alquran telah mendorong akal pikiran manusia dengan mengemukakan ayat-ayat tentang ilmu alam yang menjelaskan segala isi dalam dunia semesta ini dengan menggunakan hasil dari pemikiran itu nanti akan terciptalah kemakrifatan kepada Allah Taala. Kemakrifatan ini terdiri dari hal-hal seperti mengenal kesempurnaan sifat-sifat-Nya, keagungan hal-ihwal-Nya, kenyataan dari kebesaran dan keluhuran-Nya, bukti kesucian-Nya, kelengkapan ilmu-Nya, kelangsungan kekuasaan-Nya dan keesaan-Nya dalam hal menciptakan dan membuat yang baru. Marilah kita semua renungkan baik-baik dalam kalbu dan pikiran kita makna dan ayat-ayat yang tercantum di bawah ini.
“Katakanlah! ‘Segenap puji adalah bagi Allah dan keselamatan untuk hamba-hamba-Nya yang dipilih oleh-Nya. Adakah Allah itu yang lebih baik, ataukah yang mereka persekutukan dengan Allah itu yang lebih baik? Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit kepadamu semua kemudian Kami (Allah) menumbuhkan dengan sebab air tadi kebun-kebun yang indah permai. Kamu semua tentu tidak sanggup menumbuhkan pohonnya. Adakah tuhan di samping Allah? Tetapi mereka itu adalah kaum yang berpaling dari kebenaran. Atau siapakah yang menjadikan bumi untuk tempaberdiam dan menjadikan sungai-sungai di tengah-tengahnya, menjadikan gunung-gunung untuk menjadi pasak dan menjadikan batas antara dua lautan? Adakah tuhan di samping Allah? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang sedemikian itu. Atau siapakah yang memperkenankan permohonan orang yang dipaksa keadaan menderita, apabila memohon kepada-Nya agar menghilangkan penderitaannya itu dan siapakah yang menjadikan kamu semua sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan di samping Allah? Sedikit sekali kamu semua mengingat kepada Allah itu. Atau siapakah yang menunjukkan jalan kepadamu semua dalam kegelapan di lautan dan di daratan? Dan siapakah yang mengirim angin untuk membawa berita gembira sebelum datangnya kerahmatan Allah? Adakah tuhan di samping Allah? Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan Allah itu. Atau siapakah yang memulai menciptakan makhluk, kemudian akan mengulanginya kembali? Dan siapakah yang memberikan rezeki kepadamu semua dari langit dan bumi? Adakah tuhan di samping Allah? Katakanlah keterangan (alasan)mu, jika kamu semua memang benar!” (Q.S. An-Naml:59-64)
Pikirkanlah baik-baik, apakah ada suatu keterangan yang lebih jelas dari keterangan yang tertera di atas itu, adakah suatu argumen yang lebih kuat daripada argumen di atas?
Jika akal masih juga tidak suka tunduk kepada keterangan di atas, tidak suka takluk pada argumen itu, maka sungguh ia tidak akan tunduk pada keterangan lain dan tidak pula mau takluk pada hujah mana pun, suatu alamat akal yang sesat dan enggan terhadap petunjuk yang benar.
Allah Taala berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka orang itu pun tidak akan memperoleh cahaya apapun.” (Q.S. An-Nur:40)
Seorang penyair berkata: “Hati nurani manusia itu Pasti tidak akan mampu memperoleh sesuatu apa pun Jika ia tetap menuntut bukti Mengapa waktu siang itu terang benderang.”
BUKTI REALITA DAN PENGALAMAN
Jika penyelidikan dengan akal pikiran perihal keadaan alam semesta serta rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya sudah dapat menunjukkan adanya Zat Yang Maha Menciptakan Yang Maha Agung dan Luhur, demikian pula intuisi fitrah dapat merasakan secara pasti akan adanya Zat Yang Maha Besar itu dalam jiwa setiap manusia, baik bagi orang pandai atau pun bodoh, bagi orang yang sudah maju atau yang masih terbelakang, bagi kaum lelaki atau perempuan, bagi orang-orang yang hidup di zaman dahulu atau pun di zaman sekarang. Namun demikian, di sana masih ada lagi bukti lain yang dapat digunakan. Apakah bukti itu? Bukti itu ialah peristiwa yang pernah terjadi atas manusia itu sendiri, atau dengan kata lain pengalaman-pengalamannya. Setiap orang tentu pernah berdoa kepada Tuhan, kemudian permintaannya dikabulkan, pernah memanggil-Nya dan keinginan dan kehendaknya dipenuhi, pernah meminta kepada-Nya permintaannya pun dipenuhi. Ia pernah pula menyerahkan sesuatu urusan bulat-bulat pada-Nya serta bertawakal sepenuh-penuhnya, kemudian Tuhan menjamin kebaikan dirinya. Tidak sedikit orang sakit dan memohon kesembuhan kepada-Nya di samping berusaha melakukan pengobatan, ia pun sembuh sebagaimana semula. Banyak juga penyakit yang diringankan penderitaannya, sementara itu berlimpah-limpah rezeki yang telah dikaruniakan padanya, malah tidak sedikit kesusahan yang telah dilapangkan untuknya atau kesedihan yang telah dilenyapkan sama sekali.
Pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya sudah dapat menuntunnya untuk sampai kepada kesimpulan adanya Allah secara sadar dan bukan karena paksaan. Sebab pengalaman-pengalaman itu memang dapat membuka segala macam hakikat yang ia sendiri pasti tidak merasakan dengan pancaindranya. Hakikat inilah yang sebenarnya mengatur kesempurnaan susunan dalam jagat raya yang amat luas ini, dijalankan sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang sesuai dengan kebijaksanaan Zat yang menciptakannya. Memang sudah pasti bahwa setiap manusia dalam kehidupannya akan memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat menuntunnya untuk bermakrifat kepada Allah swt., dapat menunjukinya ke arah itu serta dapat mengantarkan dirinya untuk dapat menyadarinya.
Perhatikanlah sejenak, betapa banyaknya orang yang sesungguhnya telah kehilangan sebab-sebab materi yang dapat digunakan sebagai sarana untuk memperoleh manfaat buat dirinya atau keluarganya, juga yang dikira dapat menolak keburukan yang pasti akan mengenai dirinya atau salah seorang keluarganya, tetapi setelah ia kehabisan akal dan tidak menemukan jalan berpikir lagi, akhirnya ia menyerah dan menghadapkan seluruh isi hati nuraninya ke hadirat Tuhan semesta alam ini, pemilik dari semua yang maujud. Apa yang terjadi? Suatu hal yang tidak pernah diperkirakan atau tidak mungkin menurut perasaannya tiba-tiba menjadi kenyataan. Kebaikan, keuntungan dan manfaat yang diinginkan tiba-tiba muncul dan menjelma, keburukan, bahaya atau kesulitan yang agaknya akan dia hadapi tiba-tiba lenyap dan sirna, apa yang dikhawatirkan dan ditakutkan tidak muncul sama sekali. Setelah diteliti, ia tida juga dapat menemukan sebab lahiriah, tidak menemukan upaya yang menjadikan ia mendapat keuntungan atau terhindar dari bahaya itu. Kini cobalah renungkan, apakah penafsiran yang tepat terhadap kenyataan semacam ini?
Sudah pasti tidak ada penafsiran lain di balik kenyataan di atas itu, kecuali bahwa di belakang semuanya memang ada Zat yang mengatur. Dia adalah Tuhan yang menguasai segenap yang ada dan berkuasa serta mampu menyebabkan timbulnya segala macam sebab.
By : Anonim
By : Anonim
Subahanallah... Hanya Allahlah yang berkuasa atas semua ini.
ReplyDelete@Ella Layla @ sebuah petua bijak yang berbunyi " berpikir sesaat lebih utama dari beribadah setahun lamanya" itu bukan berarti kita harus mengabaikan aspek ibadah mabda tapi memberi isyarat bahwa kita harus memaksimal potensi akal yg dimiliki. wallahu waalam bissawab.
ReplyDeleteposting yang keren my bro..akal lah yang membedakan manusia dengan mahluk ciptaan yang lain..
ReplyDelete@AntonAbiHandsome@
ReplyDeletesalam.
Betul mas bro, karena dengan kemampuan tersebut, manusia bisa melebihi tingkatan dan makam para malaikat, dan dengan itu juga manusia bisa turun derajatnya, lebih rendah dari hewan atau binatang ternak, jadi sangat tergantung bagaimana mengolah dan memaksimalkan potensi jiwa tersebut.
Salam.
Tidak ada satupun Ciptaan Allah swt yang sia-sia..
ReplyDeleteTidak ada alasan untuk terus Mensyukuri smua anugrahnya..
@(Aku Bukan) Bang Thoyib@
ReplyDeletesalam.
Begitulah adanya, dalam suatu surah Allah berfirman dan diulang2 dalam surah tersebut yang intinya menjelaskan tentang nikmat yang manakah yang engkau didustakan, semua yang ada di peruntukan untuk manusia sebagai khalifahnya dan tentu saja dengan aturan dan norma yang ada yg hakekatnya adalah rel yang memberikan batasan agar tetap dalam kodrat kmanusiaan dalam mengemban amanah.
salam.
Artikel yang bagus Becks, yang membedakan manusia dengan makhluk lain ada di akalnya, jadi kalo manusia membuang akalnya berarti tdk lebih baik dari binatang, hanya saja harus diperhatikan juga, akal yang bagaimana..., apakah akal yang fitrah, akal komunis, atau akal yg suka akal-akalan dan suka ngakali org...
ReplyDeleteakal dan hati harus seimbang dan saling memfilter..
@Insan Robbani@
ReplyDeleteSalam.
Thank's bro, Akal adalah anugrah, dan ciri inti kemanusiaan, tak ada norma dan hukum yang berlaku bila seseorg hilang akal, sehingga Allah SWT selalu mengingatkan dalam setiap ayatnya, bahwa nnikmat manakah yang engkau dustakan, akal alat untuk menilai dan membuat keputusan, dan mengangkat derajat, melebihi malaikat dan menurunkan derajat, lebih rendah dari binatang, dan tergantung kita menggunakan atau tidak..
Salam.