Profesional. Bagaimana Anda mendefinisikannya? Profesional adalah sikap kerja. Ia membentuk, selain karakter diri, juga karakter kerja kita. Jadi, yang tampak dari profesionalisme tiada lain dari kelakuan kita. Tentunya sesuai dengan profesi yang kita tekuni.Lalu, apakah maling itu dapat kita sebut profesional? Atau para koruptor itu juga profesional? Jelas profesional (kalau mereka tidak melakukannya sembarangan alias sangat terlatih).
Masalahnya mereka ini profesional dari aspek negatif. Dalam hal ini bisa jadi karakter diri seseoranglah yang membentuk karakter negatif ini. Akan tetapi kemudian, bisa jadi pula karakter diri justru terbentuk dari sistem yang ada.Kalau kita simak lebih dalam, terutama dari sudut psikologi personal, seseorang bisa menjadi maling ataupun koruptor kelas kakap tidak lain karena ketidakmampuan mereka menahan diri. Jelas, dalam hal ini menahan diri pada kebutuhan duniawi yang mendesak (menurut mereka).
Bisa jadi maling melakukan pekerjaannya karena ia butuh makan. Demikian juga para koruptor, mereka berpikir mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kira-kira, dari sudut pandang agama, apa yang harus mereka lakukan untuk meniadakan karakter negatif semacam ini? Jawabannya, mungkin, dengan berpuasa. Mungkinkah?
Dari sudut pandang kemauan diri untuk berubah semuanya sangat memungkinkan. Tetapi alternatif solusi kelakuan semacam itu belum jaminan untuk efektif. Karena itu, solusi sistem tentunya sangat membantu.Seseorang yang ingin berubah dari kelakuan buruk menuju kelakuan baik sebenarnya membutuhkan sistem yang kondusif. Semacam sistem yang memungkinkannya untuk konsisten melakukan perubahan diri.
Dan perubahan diri itu sendiri, sering diungkap, bermula dari hati. Hati yang total, yang berniat untuk mengubah diri, akan bersungguh-sungguh. Maka, menurut Masfuk dalam bukunya Orang Jawa Miskin Orang Jawa Kaya: Cara Menjadi Miliuner (2002: 122-123), kesungguhan kerja seseorang untuk meraih hasil yang baik atau output yang optimal, dapat mengategorikan orang tersebut sebagai profesional.
Namun, topangan kesungguhan kerja ini kalau tanpa kejujuran apalah artinya. Profesionalisme minimal bisa berangkat dari kejujuran diri. Kedengarannya sepele. Tetapi, kalau menyimak bagaimana Muhammad SAW, Rasulullah, berlaku profesional (sebagaimana diriwayatkan) dengan menunggu seseorang yang berjanji sampai tiga hari, itu sudah membuktikan bahwa semangat profesionalisme dijunjung oleh beliau. Apabila berjanji, maka beliau dengan sungguh-sungguh menjalani dan membuktikannya -teladan yang lagi-lagi terlihat sepele.
Dari mana semua ini didapat? Tentu saja dari kejujuran minimal kejujuran terhadap diri sendiri. Jujur merupakan saripati yang sebenarnya perlu sekali dimiliki oleh seorang Muslim. KH Toto Tasmara menyebutkan bahwa seorang pribadi Muslim hendaknya menjadi manusia yang kecanduan terhadap kejujuran; dalam keadaan apapun ia hendaknya merasa bergantung pada kejujuran (2002: 20). Dengan sugesti kejujuran, dengan itu pula seorang Muslim mengembangkan amal-amal saleh prestatif.
Dan Muslim yang prestatif tandanya ialah, ia mampu mensinergikan kemampuannya untuk dzikr, fikr, dan ikhtiyar. Ia mampu untuk selalu ingat dan dekat kepada Allah. Ia mampu berpikir cerdas memutar otak untuk meraih prestasi kerja terbaik. Dan ia berani untuk mengusahakan dirinya mengerjakan semua yang ia rencanakan secara matang, demi meraih tujuan terbaik dirinya maupun usahanya. Wallahu a`lam bishshawab.
By ; Anonim
Masalahnya mereka ini profesional dari aspek negatif. Dalam hal ini bisa jadi karakter diri seseoranglah yang membentuk karakter negatif ini. Akan tetapi kemudian, bisa jadi pula karakter diri justru terbentuk dari sistem yang ada.Kalau kita simak lebih dalam, terutama dari sudut psikologi personal, seseorang bisa menjadi maling ataupun koruptor kelas kakap tidak lain karena ketidakmampuan mereka menahan diri. Jelas, dalam hal ini menahan diri pada kebutuhan duniawi yang mendesak (menurut mereka).
Bisa jadi maling melakukan pekerjaannya karena ia butuh makan. Demikian juga para koruptor, mereka berpikir mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kira-kira, dari sudut pandang agama, apa yang harus mereka lakukan untuk meniadakan karakter negatif semacam ini? Jawabannya, mungkin, dengan berpuasa. Mungkinkah?
Dari sudut pandang kemauan diri untuk berubah semuanya sangat memungkinkan. Tetapi alternatif solusi kelakuan semacam itu belum jaminan untuk efektif. Karena itu, solusi sistem tentunya sangat membantu.Seseorang yang ingin berubah dari kelakuan buruk menuju kelakuan baik sebenarnya membutuhkan sistem yang kondusif. Semacam sistem yang memungkinkannya untuk konsisten melakukan perubahan diri.
Dan perubahan diri itu sendiri, sering diungkap, bermula dari hati. Hati yang total, yang berniat untuk mengubah diri, akan bersungguh-sungguh. Maka, menurut Masfuk dalam bukunya Orang Jawa Miskin Orang Jawa Kaya: Cara Menjadi Miliuner (2002: 122-123), kesungguhan kerja seseorang untuk meraih hasil yang baik atau output yang optimal, dapat mengategorikan orang tersebut sebagai profesional.
Namun, topangan kesungguhan kerja ini kalau tanpa kejujuran apalah artinya. Profesionalisme minimal bisa berangkat dari kejujuran diri. Kedengarannya sepele. Tetapi, kalau menyimak bagaimana Muhammad SAW, Rasulullah, berlaku profesional (sebagaimana diriwayatkan) dengan menunggu seseorang yang berjanji sampai tiga hari, itu sudah membuktikan bahwa semangat profesionalisme dijunjung oleh beliau. Apabila berjanji, maka beliau dengan sungguh-sungguh menjalani dan membuktikannya -teladan yang lagi-lagi terlihat sepele.
Dari mana semua ini didapat? Tentu saja dari kejujuran minimal kejujuran terhadap diri sendiri. Jujur merupakan saripati yang sebenarnya perlu sekali dimiliki oleh seorang Muslim. KH Toto Tasmara menyebutkan bahwa seorang pribadi Muslim hendaknya menjadi manusia yang kecanduan terhadap kejujuran; dalam keadaan apapun ia hendaknya merasa bergantung pada kejujuran (2002: 20). Dengan sugesti kejujuran, dengan itu pula seorang Muslim mengembangkan amal-amal saleh prestatif.
Dan Muslim yang prestatif tandanya ialah, ia mampu mensinergikan kemampuannya untuk dzikr, fikr, dan ikhtiyar. Ia mampu untuk selalu ingat dan dekat kepada Allah. Ia mampu berpikir cerdas memutar otak untuk meraih prestasi kerja terbaik. Dan ia berani untuk mengusahakan dirinya mengerjakan semua yang ia rencanakan secara matang, demi meraih tujuan terbaik dirinya maupun usahanya. Wallahu a`lam bishshawab.
By ; Anonim
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)