source |
Hari ini, kita merayakan kemenangan, seperti banyak
pernyataan para ustast kita yang memberi khotbah pada pada hari ini, sesudah
Shalat Id tadi. Sebagai muslim yang telah melakanakan puasa selama sebulan
lamanya, merasakan kemenangan, karena telah selesai melaksanakan puasa yang
menguras tenaga, dan kembali fitrah seperti bayi yang keluar dari perut ibunya.
Kemenangan yang di dapatkan bukanlah kepuasan fisik saja, tapi
peningkatan kualitas spiritual kita yang semakin membaik, karena jika kita
melaksanakan puasa dengan sungguh-sungguh, maka segala noda dan dosa akan
di ampuni oleh Allah SWT, seperti yang telah di janjikan-Nya, sehingga
kemenangan yang kita dapatkan, seperti layaknya kemenangan orang dari
medan perang.
Hal yang sangat perlu di ingat bahwa manusia lahir dengan keadaan suci dan bersih, tanpa noda, seperti keras putih yang plos. Ibarat yang sering menjadi perumpamaan tentang proses awal kehadiran seorang manusia di bumi. Kita datang dengan menggenggam tanggung jawab dan harapan. Tumbuh besar dalam lingkungan yang di ciptakan oleh kedua orang tua kita, dan merekalah yang pertama kali menulis di kertas putih jiwa kita, menjadikan kita seperti apa yang mereka yakini dan pahami. Dalam Islam sering kita dengar juga pernyataan, bahwa seorang bayi lahir dalam keadaan suci, orang tualah yang memberi andil bagi bayi itu, apakah ingin menjadi Majusi, Nasrani atau menjadi Islam. Dalam pengertian ini lingkungan keluargalah yang memberi peran pertama dan utama bagi pembentukan sebuah pribadi dan karakter seorang manusia.
Dengan kemampuan membedakan antara kebaikan dan keburukan, kejahatan dan kemaslahatan, dosa dan pahala, kita bisa memilih/bebas menentukan apa yang yang menjadi keinginan kita. Disini jugalah lahirnya sebuah tanggung jawab, dan bermaknanya pahala dan dosa. Karena dengan kemampuan memilih antara baik dan buruk, kebaikan atau kejahatan, kita memiliki kuasa untuk memilih satu diantara dua hal, dengan kekuatan penalaran dan kemampuan menganalisa. Bahwa manusia akan di mintai pertanggung jawaban di akherat kelak terhadap apa yang mereka lakukan di dunia, bukanlah perkara ynag tidak masuk akal, karena yang telah dibahas bahwa manusia memiliki fitrah di awal kejadiannya, dan semua berpulang pada kemauan dan kehendak kita, apakah kita mengikuti fitrah sebagai tanda/petunjuk yang jelas, atau mengikuti yang lain, itu terserah kita.
Hal yang sangat perlu di ingat bahwa manusia lahir dengan keadaan suci dan bersih, tanpa noda, seperti keras putih yang plos. Ibarat yang sering menjadi perumpamaan tentang proses awal kehadiran seorang manusia di bumi. Kita datang dengan menggenggam tanggung jawab dan harapan. Tumbuh besar dalam lingkungan yang di ciptakan oleh kedua orang tua kita, dan merekalah yang pertama kali menulis di kertas putih jiwa kita, menjadikan kita seperti apa yang mereka yakini dan pahami. Dalam Islam sering kita dengar juga pernyataan, bahwa seorang bayi lahir dalam keadaan suci, orang tualah yang memberi andil bagi bayi itu, apakah ingin menjadi Majusi, Nasrani atau menjadi Islam. Dalam pengertian ini lingkungan keluargalah yang memberi peran pertama dan utama bagi pembentukan sebuah pribadi dan karakter seorang manusia.
Fitrah pertama kita dalah suci, hal yang seperti
inilah yang selalu diserukan oleh Agama-agama samawi yang asli, dan Islam
secara khusus dan tuntas membahas tentang firah tersebut. Ketika pribadi telah
terkontaminasi oleh dosa dan salah, aib, sikap ujub, sombong, berprilaku tdak
adil. Maka kita di ingatkan bahwa kita harus kembali kepada fitrah kita,
kembali pada sesuatu yang sejalan dengan fitrah tersebut. Sikap baik, suka
menolong tanpa pamrih, memberi maaf, rendah hati, berlaku adil, adalah sikap
dan prilaku yang sejalan dengan awal kejadian kita, dan dengan sikap dan
prilaku tersebut diharapkan menjadi bagian utama yang memperkuat sekaligus
menegaskan eksisensi kefitrahan manusia.
Hal lain yang kedua merupakan fitrah kita adalah
bebas/merdeka, seperti halnya dengan kesucian, bebas bisa di bahasakan dengan
kemampuan untuk memilih dua hal yang berbeda, mungkin ini bukan defenisi yang
baku, tapi sebuah pengertian operasional, yang sejalan dengan apa yang saya
kemukakan. Kita bisa memilih dua tindakan yang berbeda, bisa memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan, menerima kebaikan atau menolaknya, berbuat dosa
atau menganjurkan kebaikan. Itulah kita, manusia sudah fitrahnya di berikan
kemampuan-kemampuan fitrawi untuk menentukan yang prioritas dan yang
alternatif, itu adalah kemampuan bawaan kita.
Fitrah kita yang ketiga, Akal atau berakal. Sebenarnya semua
saling berkaitan, dengan akal kita bisa membedakan antara kebaikan atau
keburukan, kebenaran dan kesalahan. Suatu hukum alam bisa dipahami hanya
orang-orang yang berakal, kita dengan gampang melakukan sebuah penyimpulan
logis terhadap apa yang kita amati, perhatikan dan teliti. Manusia bisa
menalar sebuah kebenaran, sebuah perangkat logis yang diberikan Allah SWT pada
manusia, kemampuan memilih sebenarnya lahir disini.
Dengan kemampuan membedakan antara kebaikan dan keburukan, kejahatan dan kemaslahatan, dosa dan pahala, kita bisa memilih/bebas menentukan apa yang yang menjadi keinginan kita. Disini jugalah lahirnya sebuah tanggung jawab, dan bermaknanya pahala dan dosa. Karena dengan kemampuan memilih antara baik dan buruk, kebaikan atau kejahatan, kita memiliki kuasa untuk memilih satu diantara dua hal, dengan kekuatan penalaran dan kemampuan menganalisa. Bahwa manusia akan di mintai pertanggung jawaban di akherat kelak terhadap apa yang mereka lakukan di dunia, bukanlah perkara ynag tidak masuk akal, karena yang telah dibahas bahwa manusia memiliki fitrah di awal kejadiannya, dan semua berpulang pada kemauan dan kehendak kita, apakah kita mengikuti fitrah sebagai tanda/petunjuk yang jelas, atau mengikuti yang lain, itu terserah kita.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)