• Kangen ngeblog lagi :D , iya karena dah lama ngak pernah ngepost lagi di blog ini. Lucu juga, aku yang pernah buat resolusi untuk ngeblog serius dan rutin eh malah ngak pernah post di blog ini lagi, padahal masih ada teman-teman blogger yang masih sering berkunjung keblog ini.

    Ngeblog sebenarnya aktivitas yang sangat positif dan sangat bermanfaat, ia adalah aktivitas produktif yang berhubungan erat dengan  menulis dan membaca. walaupun kedua aktivitas itu bisa di lakukan tanpa harus online, tetapi kedua kegiatan itu punya hal menyenangkan bila di lakukan secara online, sebab tantangannya lebih besar, karena banyak hal yang bisa memecahkan konsentrasi dan fokus  :D
    Selama hiatus di dunia blog, anehnya saya, hamper tiap hari berhubungan dengan internet, tentu dalam artinya yang lebih banyak negatifnya (gaming, klik link abu-abu, chat-chat g jelas).

    kesimpulan sangat jelas sebenarnya dari aktivitas ngeblog, Bahwa ngeblog bisa menjadi filter  efektif  untuk aktivitas internet sehat dan produktif, membaca, menulis serta belajar banyak hal positif dari belantara luas internet. Jadi mari selalu bersemangat untuk ngeblog !

    07 Jan 2015
    17 comments
  • Tentang Semangat

    Jangan Padamkan
    Indahnya Kehidupan
    Katanya Persepsi

    11 Apr 2013
    12 comments
  • Potret dan Nasib Buram Perempuan Pada Masa Penjajahan
    Masalah yang pasti timbul dari kolonialisasi di mana pun adalah persoalan perempuan. Pegawai Kompeni yang datang ke Indonesia semuanya adalah laki-laki dan dalam jumlah yang sangat banyak. Pada awalnya perempuan pribumi dianggapnya sedemikian kotor dan tidak memiliki kesopanan dan peradaban sehingga tidak layak untuk dijadikan istri dan ibu dari anak-anak para pembesar Belanda.

    Jan Pieterszoon Coen, yang merupakan pendiri Batavia berusaha mengatasi hal ini dengan mencoba meminta kiriman anak gadis yang berumur antara 10-12 tahun dari rumah-rumah yatim piatu di Verenigde Provincien. Dengan demikian di Batavia, yang pada masa itu merupakan pusat dari segala kegiatan Kompeni di Asia, akan terdapat banyak keluarga yang terhormat yaitu perkawinan pegawai Kompeni dengan gadis-gadis yang mewarisi sifat-sifat baik keluarga Belanda .


    Dalam surat permohonannya Coen menulis "Perempuan adalah prasyarat dalam berdagang. Jika perempuan tersedia di pasar-pasar perdagangan, Hindia akan menjadi milik Anda" demikian dinyatakan Coen kepada Heren XVII.

    Namun demikian, proyek pengadaan perempuan Belanda ini ternyata gagal. Gadis-gadis tak ternoda seperti yang diharapkannya tidak pernah dikirim. Kapal Wapen van Horn yang berlabuh di Batavia hanya membawa perempuan lusuh yang menurut Coen seolah-olah bukan asuhan manusia melainkan berasal dari hutan rimba, tak jauh dari kondisi para perempuan pribumi. Oleh karena itu hanya dalam satu dasawarsa upaya mendatangkan permpuan Belanda dilakukan.

    Nasib Tragis Perempuan Pribumi
    Dampak dari kegagalan proyek mendatangkan perempuan Belanda terhormat ini mengakibatkan masalah tersendiri bagi perempuan Indonesia. Banyak perempuan pribmi dijadikan pasangan hidup namun tak dijadikan istri.


    Seorang laki-laki Belanda yang telah kawin dengan seorang perempuan pribumi tak bisa pulang kembali ke negeri Belanda dengan membawa anak istrinya. Peraturan tidak mengijinkan istri dan anak-anaknya dibawa serta. Maka tidak mengherankan bila banyak pegawai Kompeni yang lebih suka hidup dengan Nyai-nyai . Kapan saja ia memutuskan pulang kembal ke tanah air ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundiknya, dan di tanah airnya sendiri memilih istri yang diimpi-impikan serta diharapkan untuk menjadi teman hidupnya..

    Pelacuran pun merajalela, sebagaimana layaknya di dalam masyarakat dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang timpang. Banyak surat-surat pengaduan dari istri yang mengadukan suaminya yang memaksa dirinya menjadi pelacur demi kepentingan uang.

    Dampak dari semua itu begitu banya penguguran kandungan, pembunuhan bayi, atau terlahirnya anak tak berdosa dengan predikat anak jadah atau anak haram. Pada masa itu begitu banyak pasangan hidup secara kumpul kebo.

    Banyak para orang tua pribumi yang kehilangan anak gadisnya. Mereka diambil paksa dengan atau tanpa sepengetahuan orang tuanya. Pertama mereka diperiksa gigi dan badannya. Jika dianggap sehat mereka dibersihkan, dimandikan berkali-kali, dan diajari sopan santun Belanda. Satu orang pegawai Kompeni jarang yang hanya memiliki satu gundik. Rata-rata mereka memiliki beberapa gundik yang dipelihara.

    Nasib para gadis dalam kehidupan Kompeni banyak yang mengenaskan. Sebuah kisah tragis dialami oleh gundik seorang pembesar Kompeni. Ia dituduh berselingkuh dengan laki-laki lain, maka hukumannya sangat mengerikan; ia disiksa, ditelanjangi, dan dipertontonkan di depan umum. Masih banyak lagi kisah tragis yang dialami para wanita malang ini, mereka dipaksa untuk jadi pemuas nafsu para laki laki yang menurut Leonard Blusse, memiliki kebiasaan hidup yang luar biasa tidak sehat. Oleh karena itu, hanya 30 % dari pegawai Kompeni yang dapat kembali ke negerinya. Disamping karena perang. Mereka umumnya sangat senang memperturutkan hati terutama dalam hal perempuan dan mengkonsumsi minuman keras.

    Perlakuan buruk para lelaki Belanda ini pada dasarnya tidak saja menimpa perempuan pribumi, umumnya perempuan Belanda pun memiliki nasib yang kurang menguntungkan. Seperti yang kebanyakan berlaku di Eropa, hukum Belanda memberikan kekuasaan mutlak sang suami atas istrinya. Dalam hukum wanita memiliki kedudukan yang sangat rendah. istri tidak berhak secara hukum melakukan tindakan atas namanya sendiri. Aturan ini baru berakhir tahun 1956. Sebelumnya, tanpa adanya kewewnangan atau persetujuan suaminya, istri tidak boleh melakukan apapun atas harta dan piutang-piutangnya, demikian pula tidak dapat melakukan perjanjian apapun.

    Program Kristenisasi
    Nasib lain dari para perempuan pribumi adalah menghadapi pilihan yang sulit yaitu memasuki agama Kristen. Anak-anak dari ayah yang beragama Kristen harus dipermandikan, karena pemerintah Belanda menghendaki hal itu. Tetapi anak-anak tersebut hanya bisa dipermandikan jika ibu anak-anak itu pun masuk Kristen. Dengan demikian kristenisasi berlangsung secara tidak langsung

    Banyak iming-iming keuntungan duniawi dari perpindahan agama menjadi umat Gereja Protestan tersebut. Pribumi yang sudah pindah agama ini akan menerima tunjangan uang. Keuntungan lain pemeluk agama Nasrani pribumi tidak dapat dijadikan sebagai budak. Peraturan yang kemudian berlaku bahwa hanya sesudah pindah agamalah perempuan pribumi bisa menikah dengan laki-laki Belanda dengan sah. Mereka kemudian didik sesuai cita rasa laki-laki Belanda.

    Akhirnya diketahui juga bahwa banyak perempuan yang ikut dipermandikan itu hanya karena alasan agar bisa kawin atau dibebaskan dari perbudakan. Para perempuan ini disebut sebagai pendosa.Mereka dengan kasar diibaratkan "seperti babi-babi betina kotor, orang-orang ini akan kembali bergulung-gulung di Lumpur", atau " mutiara dilepar pada monyet, yang hanya akan diinjak-injaknya belaka" (Enklaar 1947)

    Untuk selanjutnya dewan gereja sejak 1635 menetapkan bahwa para perempuan pribumi calon istri dari laki-laki Belanda ini harus hadir dalam pelajaran-pelajaran agama baik yang sudah dipermandikan atau pun yang belum. Hal ini dilakukan untuk mempelajari dasar-dasar agama Nasrani, supaya mereka tidak menjadi Kristen dalam sebutan saja melainkan sebenar-benarnya (Bouwstoffen I:227).

    Perempuan-perempuan muda pribumi yang telah dibeli Kompeni untuk bersedia kawin pada pegawai Belanda ini, harus mengikuti kursus-kurus persiapan khusus setiap hari Mingu sore. Semua dilakukan dengan sungguh-sungguh bukan formalitas saja.

    Banyak dari wanita muda ini yang tidak menyadari apa yang sesungguhnya dihadapi, bahwa sekali mereka menyatakan kesediaan kawin, mereka harus menerima konsekunsi semua itu. Dalam akta pada tahun 1620 an sering ditemukan catatan yang menyatakan adanya beberapa orang wanita yang berubah pikiran, dan ingin mencabut kembali perjanjian mereka hanya dalam beberapa hari menjelang upacara perkawinan dilangsungkan. Pengumuman perkawinan biasanya dilakukan beberapa minggu berturut-turut sebelumnya, oleh karena itu dewan gereja mengecam keras perubahan pendirian tersebut, akhirnya mereka pun tetap dipaksa kawin. Dengan cara tersebut, akhirnya gereja berhasil mngkristenkan pribumi, khususnya perempuan, dengan alasan menghapuskan pergundikan,.

    Demikianlah selintas kita buka album masa lalu, yang menampakan potret buram perempuan selama masa penjajahan Belanda. Selain mereka hanya dijadikan objek pemuas nafsu, mereka juga sengaja dibodohkan dengan tidak diberi kesempatan mendapat pendidikan.

    Semoga perjalanan wisata sejarah ini dapat menimbulkan kesadaran bahwa kita yang hidup di masa kemerdekaan ini bisa mensyukurinya dalam tindak nyata dan waspada pada bentuk penjajahan lain yang menindas kaum wanita.

    Oleh : Arini
    09 Apr 2013
    15 comments
  • Untuk melihat permasalahan wanita, sebagian besar orang masih menggunakan kacamata subyektif. Wanita memandang permasalahan kaumnya dari sudut pandang kewanitaannya, sedangkan laki-laki dengan tolok ukur kelelakiannya. Intinya masing-masing memandang wanita hanya sebagai ‘wanita’. Dan selama baik wanita maupun laki-laki memandang wanita dari kepentingan masing-masing, selama itu pula permasalahan wanita akan tetap mengambang, tak terselesaikan.

    Tak dapat diingkari bahwa dalam faktanya, wanita memang menghadapi problema. Kita membutuhkan pandangan yang jernih untuk menganalisis bagaimana problema itu muncul dan bagaimana memecahkannya secara tuntas. Karena itu, kita akan mencoba menelusuri permasalahan wanita di berbagai belahan dunia untuk dapat menyimpulkan pangkal permasalahannya.

    Wanita Amerika: Bumerang Emansipasi
    Amerika adalah negara tempat lahirnya Gerakan Pembebasan Wanita atau Women’s Liberation. Sampai saat ini, wanita-wanita Amerikalah yang bersuara paling nyaring dalam memperjuangkan persamaan hak wanita. Suatu hal yang tidak mengherankan jika kita melihat bagaimana buruknya kondisi wanita sampai awal abad ke-20. Pada saat itu kaum wanita Amerika dianggap sebagai warga kelas dua yang tidak boleh mengikuti pemilihan umum. Dalam segi hukum perkawinan, para wanita tidak berhak menguasai harta miliknya sendiri, sekalipun dia dapatkan dari bekerja. Harta itu tetap menjadi milik suaminya. Begitu pula dalam hal pendidikan, kaum wanita menemui banyak hambatan untuk mendapatkan pendidikan yang sejajar dengan pria (Megawangi, 1994). Ibarat api dalam sekam, ketimpangan ini akhirnya melahirkan pemberontakan wanita Amerika, dengan munculnya liberalisme yang menggugat tatanan masyarakat saat itu.

    Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

    Namun ternyata keberhasilan feminisme adalah keberhasilan semu, bahkan emansipasi yang mereka perjuangkan memunculkan permasalahan baru bagi wanita. Kondisi ekonomi wanita secara rata-rata ternyata telah menurun, padahal jumlah wanita yang bekerja di luar rumah semakin banyak. Dua dari tiga orang dewasa yang miskin di Amerika adalah wanita. Tingkat upah pun ternyata tidak berubah. Data tahun 1985 menunjukkan tingkat upah rata-rata wanita di AS adalah 64% dari tingkat upah pria, atau sama dengan tahun 1939 (Megawangi, 1994).

    Penyebab utama memburuknya kondisi wanita adalah tingginya angka perceraian. Angka perceraian di AS meningkat dengan tajam semenjak tahun 1960-an. Jumlah anak yang dibesarkan pada keluarga yang dikepalai wanita telah mencapai 50% pada tahun 1980-an. Perceraian dengan beban pengasuhan anak-anak, telah menyebabkan kondisi yang menyedihkan pada banyak wanita.

    Sementara itu kekerasan terhadap wanita juga meningkat. Kekerasan fisik dialami wanita setiap delapan detik. Pergaulan bebas dan keengganan menikah, menyebabkan tingginya angka perkosaan wanita, yaitu enam menit sekali (Kompas, 4 September 1995).

    Lebih ironis lagi, menurut laporan majalah Fortune, Amerika edisi 2 September 1995, banyak wanita eksekutif mengalami stress. Mereka merasakan kekecewaan, ketidakpuasan dan kekhawatiran, sehingga hidup dan jiwa mereka menjadi kacau. Bahkan umumnya mereka mengalami perceraian dan gangguan hubungan sosial dalam keluarga (Republika, 24 September 1995).

    Jika kita kaji lebih lanjut, diskriminasi upah di Amerika tidak hanya menimpa wanita. Warga berkulit hitam umumnya mengalami hal yang sama. Dalam dunia kapitalistik, tujuan utama pengusaha adalah keuntungan yang sebesar-besarnya dari biaya produksi yang sekecil-kecilnya. Dalam hal ini, orang-orang yang memiliki posisi tawar kurang,termasuk wanita dan warga kulit hitam, menjadi korban. Mereka terpaksa menerima berapa pun gaji yang diberikan untuk mempertahankan hidup.


    Wanita Eropa : Antara Kapitalis dan Sosialis
    Kondisi wanita Eropa lebih kompleks, karena ideologi yang berkembang di Eropa tidak hanya kapitalis, tetapi juga sosialis. Ideologi ini mempengaruhi juga bentuk perjuangan wanita, sehingga muncul feminisme liberal dan feminisme sosial.
    Di Eropa Barat yang menganut sistem liberal, permasalahan yang terjadi hampir sama dengan USA. Di Inggris, perceraian keluarga bahkan menjadi suatu obsesi (The Economist, September 1995).

    Di Eropa Utara yang menganut faham individualis yang kuat, yang muncul adalah gerakan feminisme liberal-radikal. Gerakan ini berpendapat bahwa ada sumber penindasan wanita yang lebih fundamental, yakni sistem patriarki. Sistem patriarki menempatkan pria sebagai kepala keluarga. Kemudian dalam konteks sosial yang lebih luas lagi, sistem patriarki dikaitkan dengan segala aspek yang menjadikan pria memiliki kekuasaan lebih besar dari wanita, baik dalam ekonomi maupun politik. Oleh karena itu hal utama yang dilakukan adalah merombak struktur patriarki menjadi struktur yang lebih egaliter. Hal ini dianggap penting agar wanita mendapat kedudukan yang sejajar dengan pria.

    “Keberhasilan” feminis radikal ini telah nampak dalam perimbangan pria-wanita di kursi parlemen. Di Norwegia, 39,4% anggota parlemen adalah wanita, sedangkan di Swedia sekitar 40%, Findlandia 39% dan di Denmark 30,3%. Angka-angka ini jauh lebih besar dibandingkan AS yang hanya 11% di DPR dan 7% di Senat, atau terhadap rata-rata dunia hanya 10,51%. Namun apakah besarnya wanita yang duduk di parlemen memecahkan permasalahan ?

    Kenyataannya, di negara-negara Eropa Utara ini, institusi keluarga mengalami keruntuhan. Di Swedia dan Denmark, setengah dari bayi-bayi lahir dari Ibu yang tidak menikah. Setengah dari perkawinan di Swedia dan Norwegia berakhir dengan perceraian, dan orang tua yang tidak menikah lagi karena sudah bercerai tiga kali lebih banyak dari jumlah orang tua tunggal meningkat sampai 18% pada tahun 1991 (The Economist, September 1995).

    Swedia dan negara-negara Eropa Utara umumnya, memang telah memproklanirkan diri sebagai negara individu. Hal ini juga diterapkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, yang memberi kebebasan seks. Di negara-negara ini, kedudukan wanita dan pria hampir dalam segala hal dianggap sama, bahkan wanita didorong untuk memasuki lapangan kerja di masyarakat. Hasil persamaan ini bisa kita lihat pada runtuhnya akhlaq dan robohnya tatanan moral masyarakat.

    Di Eropa Timur, pada masa sosialis masih berkuasa, ide feminisme yang berkembang adalah feminisme sosialis yang menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

    Ketika sosialis runtuh, perlahan tapi pasti, berkembang lagi faham kapitalis yang mengedepankan individualisme. Iklim ekonomi global yang tidak menentu, utang, program penyesuaian struktur serta perang yang terjadi di mana-mana, membuat rakyat Eropa Timur berlanjut hidup dalam kemiskinan, dan wanita juga harus terkena beban kemiskinan ini.

    Paling parah adalah kondisi wanita di Bosnia Herzegovina. Di negeri yang tercabik-cabik oleh semangat chauvinisme agama Serbia, lebih dari 20 juta wanita dilaporkan telah diperkosa oleh pasukan Serbia (Kompas, 4 September 1995). Metode baru pembersihan kaum muslimin dari Eropa ini masih ditambah dengan pembantaian wanita dan anak-anak, yang jumlahnya, tak pernah terungkap secara pasti.

    Namun demikian, kita tidak bisa melihat kasus Bosnia ini sebagai ‘kekerasan laki-laki kepada wanita’. Serbia melakukan strategi ini untuk menghancurkan kehormatan Bosnia dan Islam, menteror dan menghabiskan komunitas muslim Eropa yang masih tersisa.

    Tragisnya, para pelaku kejahatan di Bosnia tidak mendapatkan sangsi apa-apa dari dunia. Walapun Mahkamah Internasional telah memutuskan 52 penjahat perang dari Serbia dan Kroasia, namun badan peradilan dunia ini sama sekali tidak punya kekuasaan untuk menyeret para penjahat perang tersebut ke depan sidang, apalagi menjatuhkan hukuman.

    Wanita Asia-Afrika : Potret Kemiskinan
    Kondisi wanita di Asia dan Afrika memiliki banyak persamaan, kecuali di negeri-negeri Timur Tengah. Karena itu, Timur Tengah akan dibahas tersendiri dalam sub bab berikutnya. Umumnya Asia dan Afrika adalah negara-negara sedang berkembang. Kecuali Cina, ideo logi negara-negara Asia Afrika adalah kapitalisme, meskipun beberapa negara menerapkannya secara tersamar.

    Permasalahan terbesar yang dihadapi negara Asia-Afrika adalah kemiskinan. Dalam keadaan seperto ini, mau tidak mau wanita ikut menanggung beban. Data menunjukkan, dari penduduk yang miskin, 70 persennya adalah wanita (Kompas, 4 September 1995).

    Kemiskinan telah mendorong wanita-wanita Thailand, termasuk gadis-gadis di bawah umur menjual diri di bursa seks kelas bawah dengan tarif hanya sekitar 4500 rupiah (Republika, 16 November 1995). Begitu juga wanita-wanita di Philipina, antara tahun 1987-1992, sekitar 261.527 orang wanita, umumnya berusia belasan tahun, memasuki Jepang sebagai wanita penghibur (Kompas, 23 Januari 1995).

    Kemiskinan juga bertaburan di Bangladesh, Srilanka, India, Indonesia dan sebagian besar negara-negara Afrika. 35 anggota berbagai organisasi dari 11 negara Asia, yang memberikan perhatian besar terhadap wanita, menyatakan bahwa disparitas yang makin besar dalam pembangunan ekonomi, akses kepada pasar, teknologi dan sistem harga yang lebih adil dalam model pembangunan yang ditawarkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), telah membuat banyak negara dan manusia terjungkal dalam kemiskinan. Program penyesuaian struktural yang dipaksakan Bank Dunia dan IMF kepada negara-negara pengutang terbesar justru membuat orang miskin menjadi bertambah miskin. Kemiskinan dan berkurangnya pekerjaan produktif dengan gaji cukup di negara asal tenaga kerja, telah memaksa laki-laki dan perempuan, termasuk anak-anak, bermigrasi ke luar negeri. Saat ini terdapat sedikitnya 12 juta pekerja migran dari Asia, separuh diantaranya perempuan, dan jumlahnya terus bertambah (Kompas, 11 Februari 1995).

    Dari pernyataan di atas, kita bisa melihat, bahwa kapitalisme, melalui Bank Dunia dan IMF sebagai alatnya, justru melahirkan kemiskinan yang semakin meluas di Asia dan Afrika. Di negara Sosialis seperti Cina, masalah yang dihadapi pun tidak berbeda. Kemiskinan masih menghantui sebagian besar masyarakatnya. Dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, untuk meningkatkan taraf ekonominya, Cina melakukan program yang kontroversial untuk menekan laju kelahiran. Masing-masing keluarga hanya dibenarkan memiliki satu anak, sehingga wanita yang hamil lagi, ‘diharapkan’ menggugurkan kandungannya. Negara berkeyakinan bahwa mengekang laju pertumbuhan penduduk Cina merupakan kepentingan seluruh rakyat, sehingga mengorbankan kepentingan pribadi untuk masyarakat banyak, sah-sah saja. Karena aturan ini, sementara budaya masih mengagungkan anak laki-laki, banyak bayi perempuan yang dibunuh begitu lahir. Sejarah jahiliyah yang terulang !

    Wanita Timur Tengah : “Lebih Baik, Tapi…”
    Dibanding wanita di belahan bumi yang lain, dari segi kesejahteraan, wanita Timur Tengah paling baik kondisinya. Meskipun para wanita ini tidak bekerja, tidak pernah terdengar adanya kemiskinan wanita. Hal ini karena nafkah mereka ditanggung sepenuhnya oleh para wali atau kalaupun tidak ada wali, negara menjamin kebutuhan mereka.

    Wanita Timur Tengah juga mendapatkan jaminan pendidikan sama dengan pria, bahkan banyak didirikan sekolah khusus wanita. Fasilitas khusus wanita tersedia di mana-mana, termasuk fasilitas kesehatan dan transportasi. Hijab yang mereka kenakan tidak menghalangi kemajuan.

    Hanya saja, peran wanita banyak dibatasi oleh negara. Sistem pemisahan mutlak antara pria dan wanita serta domestikasi peran, membatasi gerak wanita dalam aktivitas kehidupan umum. Bahkan sampai saat ini, wanita-wanita Timur Tengah tidak mempunyai hak politik, termasuk untuk sekedar memilih anggota parlemen dalam pemilu.

    Dari gambaran tentang wanita di atas, kita bisa melihat beragamnya problematika yang dihadapi oleh wanita. Jika kita tinjau lebih jauh, semua problematika wanita tidak bisa kita lepaskan dari problematika manusia seluruhnya. Sebagai contoh, problem kemiskinan yang dihadapi, juga dihadapi oleh rumah tangga dengan kepala keluarga pria. Kalau dikatakan karena kurangnya akses ekonomi wanita, pendapat ini bisa gugur dengan fakta wanita di Timur Tengah yang berkecukupan tanpa harus bekerja. Bisa dikatakan bahwa tidak ada masalah wanita yang murni dapat dilihat hanya karena kewanitaannya saja.

    Upaya pemecahan problema wanita yang selama ini dilakukan dengan mendasarkan pada fakta yang berbeda di tempat yang berbeda, tidak akan menuntaskan permasalahan. Karena akar permasalahan wanita pada dasarnya sama, dimanapun ia berada. Wanita diberbagai tempat dengan berbagai kondisi tetaplah merupakan bagian dari manusia, dengan kebutuhan dan naluri yang sama. Kondisi wanita yang berbeda diberbagai belahan dunia disebabkan oleh penerapan peraturan yang berbeda.

    Sekiranya peraturan yang diterapkan di seluruh dunia untuk mengatur kebutuhan dan naluri manusia yang sama, tidak akan muncul masalah wanita yang beragam. Dan sekiranya peraturan yang dibuat sesuai dengan ‘kemanusiaan’ wanita, permasalahan wanita akan terselesaikan, tanpa melihat siapa yang menjalankan aturan. Dan tanpa menimbulkan permasalahan baru serta ketimpangan hubungan antara pria dan wanita.

    Akhirnya menjawab siapa ‘menjajah’ wanita kita dapat katakan peraturanlah yang saat ini menimbulkan problematika wanita. Peraturan yang diproduk dan direka-reka sendiri oleh manusia, yang pada akhirnya justru bertentangan dengan kemanusiaan manusia ! (habis…)


    Oleh : Arini
    08 Apr 2013
    4 comments
  • Dalam satu abad terakhir ini, Demokrasi telah mendominasi perpolitikan global masyarakat dunia. Demokrasi menjadi konsep yang paling banyak diperbincangkan dan dianut oleh hampir semua negara di dunia, bahkan negara-negara otoriter pun mengklaim dirinya sebagai: “negara demokrasi dengan ciri khusus yang disesuaikan dengan kepribadian bangsa”.

    Jika ditilik kebelakang, Demokrasi sebenarnya bukanlah konsep baru yang muncul di awal abad 20, melainkan merupakan sebuah konsep yang telah muncul ribuan tahun yang lalu yang bermula di Yunani. 

    Robert A. Dahl membagi perkembangan demokrasi menjadi  2 yaitu, transformasi pertama: demokrasi Yunani kuno pada masa negara-kota dan transformasi kedua: perkembangan republikanisme, perwakilan dan logika persamaan.

    Transformasi Pertama: Demokrasi Yunani Kuno

    Pada abad kelima sebelum Masehi orang-orang Yunani, terutama sekali Athena, menyusun sebuah konsep baru tentang kehidupan politik dan praktik-praktik yang ditimbulkannya di banyak negara-kota. Konsep ini mereka beri nama sebagai Demokratia atau pemerintahan oleh rakyat, yang berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratia yang berarti pemerintahan.

    Menurut orang-orang Yunani, demokrasi setidaknya harus memenuhi enam persyaratan yaitu:

    1. Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingannya mereka sehingga mereka sama-sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang kepentingan umum dan bertindak atas dasar itu, sehingga tidak nyata-nyata bertentangan dengan tujuan atau kepentingan pribadi mereka.

    2. Dari persyaratan pertama ini, timbul persyaratan kedua: mereka benar-benar harus amat padu dan homogen dalam hal ciri-ciri khas yang, kalau tidak demikian halnya, cenderung menimbulkan konflik politik dan perbedaan pendapat yang tajam mengenai kepentingan umum. Menurut pandangan ini, tidak ada negara yang dapat berharap menjadi sebuah polis yang baik apabila warga-negaranya memiliki perbedaan besar dalam sumberdaya ekonominya dan jumlah waktu lowong yang mereka punyai, atau apabila mereka menganut agama yang berbeda-beda, atau menggunakan bahasa yang berlainan, atau berbeda dalam hal ras, budaya atau (menurut istilah yang kita gunakan sekarang) kelompok etnis.

    3.  Jumlah warga-negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih kecil dari 40.000 – 50.000 yang terdapat di Athena di masa Pericles. Jumlah demos yang kecil itu penting karena tiga alasan: jumlah itu akan menolong menghindari keragaman dan karena itu juga menghindari ketidakserasian yang akan timbul oleh karena perluasan tapal batas yang akan mencakup, seperti Persia, rakyat yang bermacam-macam bahasa, agama, sejarah, dan etnisnya dan hampir tidak ada persamaan diantara mereka. Hal itu juga penting agar warga-negaramempunyai pengetahuan tentang kota dan saudara-saudara mereka sesama warga-negara, dari pengamatan, pengalaman, dan diskusi, yang akan memungkinkan mereka mengetahui kebaikan bersama dan membedakannya dari kepentingan pribadi atau perseorangan. Terakhir, jumlah yang kecil itu juga penting, jika warga-negara harus berkumpul agar berfungsi sebagai penguasa kota yang berdaulat.

    4. Karena itu, yang keempat adalah bahwa warga-negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan undang-undang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan. Demikian kokohnya pandangan ini dipercayai, sehingga orang Yunani mengalami kesukaran untuk membayangkan adanya pemerintahan perwakilan, apalagi menerimanya sebagai alternatif yang sah terhadap demokrasi langsung. Tentu saja, pada waktu-waktu tertentu dibentuk liga, atau konfederasi dari negara-negara kota itu. Tetapi sistem yang benar-benar bersifat federal dengan pemerintahan perwakilan telah gagal berkembang, yang tampaknya untuk sebagian, disebabkan gagasan perwakilan itu tidak dapat berhasil bersaing dengan kepercayaan yang menonjol dalam keinginan dan legitimasi tentang pemerintahan langsung dengan majelis-majelis langsung pula.

    5. Namun demikian, partisipasi warga negara tidak terbatas pada pertemuan-pertemuan Majelis saja. Mereka berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota. Orang memperkirakan bahwa di Athena terdapat lebih dari seribu jabatan yang harus diisi, sebagian kecil di antaranya dengan pemilihan, tetapi kebanyakan dengan undian, dan hampir semua dari jabatan ini untuk jangka waktu satu tahun dan hanya dapat diduduki sekali seumur hidup. Bahkan dengan jumlah rakyat yang cukup “besar” di Athena, setiap warga hampir pasti akan menduduki suatu jabatan untuk jangka waktu setahun, dan sebagian besar akan menjadi anggota dari Dewan Lima Ratus, yang akan amat penting itu, yang akan menentukan acara untuk Majelis.

    6. Akhirnya, sekurang-kurangnya secara ideal, negara-kota harus tetap sepenuhnya otonom. Liga, konfederasi, dan aliansi kadang-kadang memang penting untuk pertahanan atau perang, tetapi semuanya itu tidak boleh dibiarkan mengurangi otonomi mutlak dari negara-kota dan kedaulatan mejelis dalam negara itu. Karena itu pada prinsipnya setiap kota harus berswasembada, tidak hanya secara politik, tetapi untuk menghindari ketergantungan yang berlebih-lebihan pada perdagangan luar negeri, kehidupan yang baik itu sudah pasti pula suatu kehidupan yang sederhana. Dengan cara begini, demokrasi dihubungkan dengan sifat-sifat kebajikan hidup sederhana, bukan dengan kemakmuran.

    Namun dalam perkembangannya ke depan, konsep demokrasi demikian mengalami berbagai perubahan-perubahan sesuai perkembangan pengetahuan.

    Transformasi Kedua: Republikanisme, Logika Persamaan dan Perwakilan

    Robert A. Dahl menjelaskan bahwa tradisi republiken adalah

    Sejumlah pemikiran yang sangat tidak sistematis atau terpadu, yang asal-usulnya terdapat bukan pada gagasan dan praktik demokrasi di dunia Yunani kuno………….., akan tetapi lebih banyak pada para pengritik demokrasi Yunani yang paling terkenal yaitu, Aristoteles.

    Republikanisme tidak banyak melihat pada Athena yang merupakan sumber dari demokrasi kuno Yunani melainkan pada Sparta dan Roma serta Venesia. Tradisi republikanisme mengalami perkembangannya pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas di Amerika Serikat dan Inggris.

    Walaupun republikanisme telah menyimpang dari demokrasi Yunani kuno tetapi masih memiliki beberapa asumsi pemikiran yang sama dengan demokrasi Yunani yaitu, memandang manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan politik dan memandang setiap orang sejajar di depan hukum.

    Kalangan republiken terbagi menjadi dua kelompok yaitu, kalangan republiken aristokratis-konservatif dan kalangan republiken demokratis yang berkembang di abad ketujuh belas dan kedelapan belas, yang dalam beberapa hal memiliki pemikiran bertentangan dengan kalangan republiken konservatif.

    Salah satu fokus utama pembahasan kaum republiken adalah mengenai “rakyat” itu sendiri. Republiken aristokratis berpandangan bahwa, meskipun rakyat memiliki peran yang penting dalam pemerintahan namun peranan mereka sepentasnya terbatas saja. Bagi kalangan republiken aristokratis, fungsi rakyat hanyalah memilih pemimpin yang cukup memenuhi persyaratan untuk menjalankan tugas pemerintahan. Karena mereka berpandangan bahwa pemimpin yang benar-benar memenuhi syarat akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan kepentingan rakyat.

    Sudah jelas, karena para pemimpin berkewajiban memerintah bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan, dan rakyat secara wajar merupakan suatu unsur penting dari masyarakat, maka para pemimpin yang benar-benar memenuhi syarat akan memerintah untuk kepentingan rakyat. 

    Salah satu fokus utama pembahasan kaum republiken adalah mengenai “rakyat” itu sendiri. Rakyat bukanlah kumpulan yang homogen, tetapi terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang umumnya terbagi menjadi dua, kalangan rakyat jelata di satu sisi dan di sisi lainnya adalah kalangan aristokrat dan oligarkhi. Dengan begitu harus ada sebuah kepentingan umum yang merupakan hasil dari penyeimbangan berbagai kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Pemikiran yang demikian terutama sekali dianut oleh kalangan republiken aristokratis. Atas dasar tersebut diatas kalangan republiken aristokratis berpandangan bahwa harus ada sebuah pemerintahan campuran yang mampu menyeimbangkan kepentingan dari masing-masing kelompok masyarakat.

    Pemikiran tersebut ditolak oleh para republiken demokratis dengan alasan bahwa kepentingan umum bukanlah mengimbangkan kepentingan rakyat dan kepentingan golongan minoritas. Yang dimaksud kepentingan umum adalah kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan pemerintahan yang demokratis kalangan republiken demokratis mengingatkan kemungkinan-kemungkinan munculnya dominasi dari golongan-golongan minoritas rakyat yaitu unsur-unsur aristokrat dan oligarkhi.

    Untuk memecahkan persoalan terjadinya dominasi kepentingan salah satu golongan masyarakat, republiken aristokratis memberikan jalan keluar berupa dibentuknya dua buah lembaga dewan perwakilan, yaitu kamar atas atau upper chamber yang berisikan kalangan aristokrat dan dewan perwakilan rakyat biasa. Namun konsep ini ditolak oleh kalangan republiken demokratis. Dengan alasan bahwa dalam sebuah republik yang demokratis, tidak ada satu kelompok pun yang memiliki keistimewaan.

    Walaupun kalangan republiken tidak mampu memberikan solusi untuk menciptakan sebuah pemerintahan campuran untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan antara golongan minoritas (aristokrat dan oligarkhi) dan golongan mayoritas (rakyat jelata), tapi ada satu gagasan dari kalangan republiken yang hingga kini tetap dipertahankan yaitu pemikiran Baron de Montesquieu tentang Trias Politica, pemisahan kekuasaan menjadi tiga cabang yaitu, legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

    Persamaan hak merupakan satu konsep lainnya yang menyertai perkembangan demokrasi. Konsep persamaan hak ini merupakan sebuah kemajuan dalam perkembangan teori demokrasi, dimana pada masa Yunani demokrasi hanyalah dimiliki oleh kalangan-kalangan tertentu saja sementara para budak dan wanita dianggap tidak memiliki hak politik apapun. Konsep persamaan hak telah muncul semenjak abad ketujuh belas di Inggris yang dibawa oleh kalangan Puritan, Leveller dan Commonwealth. Salah satu dari anggota Leveller, Richard Overton, pada tahun 1646 menulis di sebuah buku:

    Karena dengan kelahiran normal, semua manusia sama……….karena kita telah dilahirkan Tuhan dengan perantara alam ke dunia ini, masing-masing dengan kemerdekaan dan kepatutan asli……. Meskipun demikian kita akan hidup, masing-masing sama-sama………..menikmati hak semenjak lahir dan hak istimewanya bahkan secara alami Tuhan telah menjadikannya merdeka ……… . Setiap orang secara alami, merupakan raja, pendeta, nabi, dalam wilayah dan batasnya masing-masing, dari mana tidak ada pendukung yang dapat ikut serta mengambil bagian selain dengan perwakilan, penyerahan dan persetujuan yang bebas darinya yang memiliki hak itu.

    Tradisi demokrasi perwakilan pertama kali digagas oleh kaum Leveller selama masa perang saudara di Inggris. Namun demokrasi perwakilan sendiri baru diterima secara luas jauh satu abad kemudian.

    Diterimanya tradisi demokrasi perwakilan oleh masyarakat tidak lepas dari perkembangan wilayah-wilayah kekuasaan dari negara-kota menjadi negara modern (negara-bangsa) yang memiliki luas wilayah lebih besar dan juga memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Destutt de Tracy:

    Perwakilan, atau pemerintah perwakilan, dapat dianggap sebagai sesuatu penemuan baru, yang tidak dikenal pada masa Montesqiueu…. Demokrasi perwakilan…… adalah demokrasi yang dibuat menjadi praktis untuk jangka waktu lama dan mencakup wilayah yang luas.

    Demokrasi langsung yang menjadi persyaratan demokrasi Yunani berganti menjadi demokrasi perwakilan. Pada demokrasi perwakilan rakyat diberi kesempatan memilih wakil-wakil yang mereka inginkan, yang terhimpun ke dalam partai-partai politik, untuk menduduki kursi-kursi mejelis (parlemen) lewat mekanisme pemilihan umum. Nantinya para “wakil-wakil rakyat inilah” yang akan menyusun kebijakan-kebijakan atau mengambil keputusan-keputusan penting. 

    Kritik Atas Demokrasi-Modern

    Salah satu persoalan demokrasi yang belum tuntas hingga saat ini adalah berkaitan dengan sistem perwakilan yang menjadi ciri utama demokrasi modern. Lewat mekanisme pemilihan umum rakyat “dipaksa” untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen yang digambarkan sebagai wujud suara rakyat
    .
    Dalam banyak kasus, suara parlemen cenderung berbeda dengan kemauan rakyat. Parlemen memiliki pendapatnya sendiri yang dipengaruhi oleh beragam faktor. Situasi demikian tentunya telah menyimpang dari konsep demokrasi yang berarti kedaulatan ada di tangan rakyat.

    Kedaulatan yang diwakilkan bukanlah bentuk kedaulatan murni karena suara rakyat tidak dapat diwakilkan. Ada baiknya jika kita menyimak pemikiran Rousseau berikut:

    Kedaulatan tidak dapat diwakilkan, dan dengan alasan yang sama tidak dapat pula dipindahkan haknya. Intinya adalah kehendak umum dan kehendak itu harus berbicara untuk dirinya sendiri, atau bukan dirinya sendiri: tidak mungkin ada yang di tengahnya. Oleh karena itu para utusan rakyat bukan dan tidak mungkin menjadi wakil rakyat.

    Terbagi-baginya rakyat itu sendiri ke dalam bagian-bagian atau kelompok-kelompok masyarakat akan melahirkan berbagai macam kepentingan yang tidak selamanya berjalan seiring, adakalanya malah bertolak belakang. Adalah sebuah hal yang mustahil bila satu orang di parlemen yang mewakili sekian ribu orang dapat berbicara berdasarkan kepentingan-kepentingan dari seluruh rakyat yang ia wakilkan. Keanehan berikutnya adalah rakyat manakah yang diwakilkan oleh para wakil-wakil rakyat tersebut. Petani, buruh, pengusaha, kaum profesional atau lainnya. Konsep perwakilan adalah sebuah konsep yang kabur. Tidak mungkin satu orang yang duduk di parlemen dapat sekaligus mewakili kepentingan buruh dan pengusaha, petani dan pemilik tanah, mahasiswa serta dosen dan pemilik yayasan pendidikan. Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh Muammar Qathafi:

    Parlemen dipilih dari konstituen atau partai atau koalisi partai-partai atau dibentuk dengan beberapa metode lainnya. tetapi semua prosedur ini tidak demokratis karena membagi populasi menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga satu anggota parlemen mewakili ribuan, ratusan ribu atau jutaan rakyat tergantung jumlah populasinya. Ini berarti bahwa anggota parlemen tidak mempunyai hubungan organisasional dengan pemilih, karena, seperti halnya anggota lainnya, dipandang sebagai wakil dari keseluruhan rakyat. Inilah apa yang dikehendaki oleh demokrasi tradisional yang hidup saat ini. Oleh karena itu, rakyat benar-benar terasing dan terpisah dari wakilnya. Karena setelah memenangkan suara rakyat, para wakil rakyat merampas kedaulatan mereka dan bertindak memaksa mereka. 

    Di sini Qathafi menjelaskan bahwa anggota parlemen tidak memiliki hubungan apa-apa dengan konstituennya. Sehingga mana mungkin anggota parlemen tersebut dapat memahami kebutuhan-kebutuhan konstituen. Memang untuk saat ini ada berbagai fasilitas yang dapat mendekatkan “wakil rakyat” dan yang diwakilkan semisal, fasilitas e-mail yang digunakan para wakil rakyat di Amerika Serikat untuk mengetahui keinginan-keinginan konstituennya. Namun kita juga harus kembali melihat, bahwa negara selama ini lebih banyak berpihak bukan pada rakyat jelata tetapi kepada golongan masyarakat atas. Lihat saja, ketika rakyat berdemonstrasi, maka para wakil rakyat sibuk berbicara kesana-kemari menuduh bahwa rakyat telah disusupi oleh kelompok tidak bertanggung jawab.

    Fenomena demikian tidak hanya terjadi di negara dunia ketiga yang umumnya baru mulai membangun demokrasi tetapi juga berlangsung di negara-negara maju yang telah “demokratis”. Ketika rakyat Eropa menolak program globalisasi neo-liberal, pemerintah maupun parlemen tetap saja jalan terus dengan program tersebut tanpa mempedulikan tuntutan rakyat. Penyebabnya adalah ada faktor-faktor di luar negara yang mempengaruhi negara sedemikian rupa. Fred Block menjelaskan bahwa salah satu faktor itu adalah struktur ekonomi yang dijalankan oleh negara tersebut.Kondisi demikian tidak mampu dihadapi oleh para “wakil-wakil rakyat”, sehingga amanat rakyat yang ada di tangan mereka seringkali digandaikan untuk menghindari implikasi-implikasi negatif terhadap mereka jika mengambil posisi bertentangan dengan tuntutan struktur yang berlaku      

    Mekanisme pemilihan umum pun sebenarnya adalah bentuk dari pelanggaran demokrasi karena pada mekanisme ini kekuasaan rakyat hanya terbatas pada saat pemilihan berlangsung, setelah pemilihan usai, rakyat kembali pada posisi tanpa kekuasaan. Kekuasaan atau kedaulatan rakyat telah berpindah ke tangan para “wakil rakyat”. Dengan begitu pemenang pemilu yang direpresentasikan sebagai wakil rakyat memiliki kewenangan penuh untuk mengatur seluruh rakyat sesuai dengan kehendak partai atau dalam bahasa lainnya sesuai dengan program partai.

    Sementara program partai yang ditawarkan oleh partai-partai pun belum bisa dikatakan sebagai kebutuhan rakyat karena partai, dengan kemampuan yang dimiliki, mampu membangun sebuah persepsi di masyarakat bahwa program tersebut adalah kebutuhan dari rakyat. Ini adalah sebuah upaya pembalikan kesadaran masyarakat. 

    Dari sini dapat dilihat bahwa model demokrasi modern yang saat ini berkembang ternyata tidaklah sempurna. Demokrasi modern masih meninggalkan persoalan-persoalan kedaulatan rakyat yang hingga saat ini tidak terselesaikan. Pencarian model-model alternatif atas demokrasi rakyat harus terus dilakukan.

    Oleh: Wendy Andhika P.

    Sumber gambar :
    07 Apr 2013
    3 comments
  • ~dan…kebahagiaan akan berlipat ganda
    jika dibagi dengan orang lain~

    (Paulo Coelho dalam novel “Di Tepi Sungai Piedra”)

    Beruntung orang yang suka membaca buku. Mereka yang gemar membaca buku akan terbuka wawasannya, tidak kuper dan cupet pandangan. Mereka akan mendapatkan informasi selain yang dipikirkannya selama ini, begitu juga referensi dan pengetahuannya akan bertambah luas. Inilah sebenarnya investasi berharga sebagai modal untuk mengarungi kehidupannya. Orang yang menyukai aktivitas membaca, biasanya mereka tidak akan terjebak dalam pola berpikir sempit ketika menghadapi problem-problem penting yang terjadi di dunia. Dalam kehidupan nyata juga berpeluang besar punya potensi dan kecenderungan yang bijak dalam mensikapi kejadian-kejadian keseharian di sekitarnya.

    Tapi, bagi orang yang ingin berbuat lebih dan mau berbagi ilmu kepada orang lain, membaca saja tak cukup. Mereka perlu memiliki ketrampilan lagi yaitu ketrampilan meresensi buku (berbagi bacaan). Sebelum melangkah kepada teknik ringkas meresensi buku, ada beberapa hal penting mengapa resensi perlu dibuat. Tujuannya, diantaranya sebagai berikut,

    1. Membantu pembaca (publik) yang belum berkesempatan membaca buku yang dimaksud (karena buku yang diresensi biasanya buku baru) atau membantu mereka yang memang tidak punya waktu membaca buku sedikitpun. Dengan adanya resensi, pembaca bisa mengetahui gambaran dan penilaian umum terhadap buku tertentu. Setidaknya, dalam level praktis keseharian, bisa dijadikan bahan obrolan yang bermanfaat dari pada menggosip yang tidak jelas juntrungnya.

    2. Mengetahui kelemahan dan kelebihan buku yang diresensi. Dengan begitu, pembaca bisa belajar bagaimana semestinya membuat buku yang baik itu. Memang, peresensi bisa saja sangat subjektif dalam menilai buku. Tapi, bagaimanapun juga tetap akan punya manfaat (terutama kalau dipublikasikan di media cetak, karena telah melewati seleksi redaktur). Lewat buku yang diresensi itulah peresensi belajar melakukan kritik dan koreksi terhadap sebuah buku. Disisi lain, seorang pembaca juga akan melakukan pembelajaran yang sama. Pembaca bisa tahu dan secara tak sadar akan menggumam pelan “Oooo buku ini begini…. begitu” setelah membaca karya resensi.

    3. Mengetahui latarbelakang dan alasan buku tersebut diterbitkan. Sisi Undercovernya. Kalaupun tidak bisa mendapkan informasi yang demikian, peresensi tetap bisa mengacu pada halaman pengantar atau prolog yang terdapat dalam sebuah buku. Kalau tidak, informasi dari pemberitaan media tak jadi soal.

    4. Mengetahui perbandingan buku yang telah dihasilkan penulis yang sama atau buku-buku karya penulis lain yang sejenis. Peresensi yang punya “jam terbang” tinggi, biasanya tidak melulu mengulas isi buku apa adanya. Biasanya, mereka juga menghadirkan karya-karya sebelumnya yang telah ditulis oleh pengarang buku tersebut atau buku-buku karya penulis lain yang sejenis. Hal ini tentu akan lebih memperkaya wawasan pembaca nantinya.

    5. Bagi penulis buku yang diresensi, informasi atas buku yang diulas bisa sebagai masukan berharga bagi proses kreatif kepenulisan selanjutnya. Karena tak jarang peresensi memberikan kritik yang tajam baik itu dari segi cara dan gaya kepenulisan maupun isi dan substansi bukunya. Sedangkan, bagi penerbit bisa dijadikan wahana koreksi karena biasanya peresensi juga menyoroti soal font (jenis huruf) mutu cetakan dsb.

    Nah, untuk bisa meresensi buku, sebenarnya tidak sesulit yang dibayangkan sebagian orang. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan siapa saja yang akan membuat resensi buku asalkan mereka mau. Diantaranya;

    A. Tahap Persiapan

    1. Memilih jenis buku. Tentu setiap orang mempunyai hobi dan minat tertentu pada sebuah buku. Pada proses pemilihan ini akan lebih baik kalau kita fokus untuk meresensi buku-buku tertentu yang menjadi minat atau sesuai dengan latarbelakang pendidikan kita. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang tidak mungkin menguasai berbagai macam bidang sekaligus. Ini terkait dengan ” otoritas ilmiah”. Tidak berarti membatasi atau melarang-larang orang untuk meresensi buku. Tapi, hanya soal siapa berbicara apa. Seorang guru tentu lebih paham bagaimana cara mengajar siswa dibandingkan seorang tukang sayur.

    2. Usahakan buku baru. Ini jika karya resensi akan dipublikasikan di media cetak. Buku-buku yang sudah lama tentu kecil kemungkinan akan termuat karena dinilai sudah basi dengan asumsi sudah banyak yang membacanya. Sehingga tidak mengundang rasa penasaran. Untuk buku-buku lama (yang diniatkan hanya sekedar untuk berbagi ilmu, bukan untuk mendapatkan honor) tetap bisa diresensi dan dipublikasikan misalnya lewat blog (jurnal personal).

    3. Membuat anatomi buku. Yaitu informasi awal mengenai buku yang akan diresensi. Contoh formatnya sebagai berikut;

    Judul Karya Resensi

    Judul Buku :
    Penulis :
    Penerbit :
    Harga :
    Tebal :

    B. Tahap Pengerjaan

    1. Membaca dengan detail dan mencatat hal-hal penting. Ini yang membedakan antara pembaca biasa dan peresensi buku. Bagi pembaca biasa, membaca bisa sambil lalu dan boleh menghentikan kapan saja. Bagi seorang peresensi, mesti membaca buku sampai tuntas agar bisa mendapatkan informasi buku secara menyeluruh. Begitu juga mencatat kutipan dan pemikiran yang dirasa penting yang terdapat dalam buku tersebut.

    2. Setelah membaca, mulai menuliskan karya resensi buku yang dimaksud. Dalam karya resensi tersebut, setidaknya mengandung beberapa hal;

    • Informasi(anatomi) awal buku (seperti format diatas).
    • Tentukan judul yang menarik dan “provokatif”.
    • Membuat ulasan singkat buku. Ringkasan garis besar isi buku.
    • Memberikan penilaian buku. (substansi isinya maupun cover dan cetakan fisiknya) atau membandingkan dengan buku lain. Inilah sesungguhnya fungsi utama seorang peresensi yaitu sebagai kritikus sehingga bisa membantu publik menilai sebuah buku.
    • Menonjolkan sisi yang beda atas buku yang diresensi dengan buku lainnya.
    • Mengulas manfaat buku tersebut bagi pembaca.
    • Mengkoreksi karya resensi. Editing kelengkapan karya, EYD dan sistematika jalan pikiran resensi yang telah dihasilkan. Yang terpenting tentu bukan isi buku itu apa, tapi apa sikap dan penilaian peresensi terhadap buku tersebut.

    C. Tahap Publikasi

    1. Karya disesuaikan dengan ruang media yang akan kita kirimi resensi. Setiap media berbeda-beda panjang dan pendeknya. Mengikuti syarat jumlah halaman dari media yang bersangkutan adalah sebuah langkah yang aman bagi peresensi.

    2. Menyertakan cover halaman depan buku.

    3. Mengirimkan karya sesuai dengan jenis buku-buku yang resensinya telah diterbitkan sebelumnya. Peresensi perlu menengok dan memahami buku jenis apa yang sering dimuat pada sebuah media tertentu. Hal ini untuk menghindari penolakan karya kita oleh redaktur.

    Demikian ulasan sekilas mengenai teknik sederhana meresensi buku. Pada intinya, persoalan meresensi buku adalah soal berbagi (ilmu). Setelah membaca buku, biasanya kita bahagia karena memperoleh wawasan baru. Dengan begitu urusan meresensi buku juga bisa berarti kita berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
    04 Feb 2013
    11 comments

January 07, 2015

Blog Hiatus, duh !!

Kangen ngeblog lagi :D , iya karena dah lama ngak pernah ngepost lagi di blog ini. Lucu juga, aku yang pernah buat resolusi untuk ngeblog serius dan rutin eh malah ngak pernah post di blog ini lagi, padahal masih ada teman-teman blogger yang masih sering berkunjung keblog ini.

Ngeblog sebenarnya aktivitas yang sangat positif dan sangat bermanfaat, ia adalah aktivitas produktif yang berhubungan erat dengan  menulis dan membaca. walaupun kedua aktivitas itu bisa di lakukan tanpa harus online, tetapi kedua kegiatan itu punya hal menyenangkan bila di lakukan secara online, sebab tantangannya lebih besar, karena banyak hal yang bisa memecahkan konsentrasi dan fokus  :D
Selama hiatus di dunia blog, anehnya saya, hamper tiap hari berhubungan dengan internet, tentu dalam artinya yang lebih banyak negatifnya (gaming, klik link abu-abu, chat-chat g jelas).

kesimpulan sangat jelas sebenarnya dari aktivitas ngeblog, Bahwa ngeblog bisa menjadi filter  efektif  untuk aktivitas internet sehat dan produktif, membaca, menulis serta belajar banyak hal positif dari belantara luas internet. Jadi mari selalu bersemangat untuk ngeblog !

Ditulis Oleh : Beck Inspiration

Artikel Blog Hiatus, duh !! ini ditulis oleh Beck Inspiration pada hari January 07, 2015. Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang Blog Hiatus, duh !! Dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini.

17 comments:

  1. sudah lama tak main kemari..apa kareba daeng...
    keep happy blogging always...salam :-)

    ReplyDelete
  2. lanjut lagi gan, tetap semangat, meski kadang down, kadang up. salam kenal ya

    ReplyDelete
  3. Berlibur aja ke Pulau Tidung dari pada bete Gan.

    Semoga sehat dan selalu dalam lindungan Tuhan....

    ReplyDelete
  4. semoga makin sering ngeblognya ya kak

    ReplyDelete
  5. ayos semangat ngeblog lagi sob..
    salam kenal yo.ditunggu visitbacknya ke satriyoku

    ReplyDelete
  6. Saya juga pernah mengalami masa di mana kegiatan dunia nyata dan rasa malas mengalahkan semangat untuk ngeblog.
    Melakukan sesuatu yang baik memang banyak sekali cobaannya Pak.
    Salam.

    ReplyDelete
  7. Good post. Thanks for sharing this post.

    Blogger Making

    ReplyDelete
  8. setuju bang. ditunggu tulisan2nya lagi...apakareba.. :D

    ReplyDelete
  9. Ngeblog juga terbukti sebagai terapi yang ampuh... :) salam

    ReplyDelete
  10. yuk ngeblog lagi kek dulu mas,, hehehehe

    ReplyDelete
  11. Kadang kita memang perlu jeda waktu saat melakukan rutinitas, biar ngga jenuh yaaa. Semoga lekas semangat ngeblog lagi yaaaa!

    ReplyDelete
  12. Kapan nih di update lagi Mas,
    sayang kalau gak diurus....

    ReplyDelete
  13. blognya bagus, kapan di update lagi nih.

    ReplyDelete
  14. salam gan, hahaha bicara hiatus emang kadang jadi penyakit para blogger, terutama bagi yg punya banyak kesibukan "real life".
    namun, ya itu termasuk saya juga sering mengalamninya.
    btw blognya keren, tetep sukses ya

    ReplyDelete

Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)


Tinggal Jejak Di Sini atau di kotak Komentar..!!

KOMPAStekno

Error loading feed.

Jaringan Pertemanan