April 07, 2013

Sistem Demokrasi Modern dan Sejumlah kritik Atasnya

Dalam satu abad terakhir ini, Demokrasi telah mendominasi perpolitikan global masyarakat dunia. Demokrasi menjadi konsep yang paling banyak diperbincangkan dan dianut oleh hampir semua negara di dunia, bahkan negara-negara otoriter pun mengklaim dirinya sebagai: “negara demokrasi dengan ciri khusus yang disesuaikan dengan kepribadian bangsa”.

Jika ditilik kebelakang, Demokrasi sebenarnya bukanlah konsep baru yang muncul di awal abad 20, melainkan merupakan sebuah konsep yang telah muncul ribuan tahun yang lalu yang bermula di Yunani. 

Robert A. Dahl membagi perkembangan demokrasi menjadi  2 yaitu, transformasi pertama: demokrasi Yunani kuno pada masa negara-kota dan transformasi kedua: perkembangan republikanisme, perwakilan dan logika persamaan.

Transformasi Pertama: Demokrasi Yunani Kuno

Pada abad kelima sebelum Masehi orang-orang Yunani, terutama sekali Athena, menyusun sebuah konsep baru tentang kehidupan politik dan praktik-praktik yang ditimbulkannya di banyak negara-kota. Konsep ini mereka beri nama sebagai Demokratia atau pemerintahan oleh rakyat, yang berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratia yang berarti pemerintahan.

Menurut orang-orang Yunani, demokrasi setidaknya harus memenuhi enam persyaratan yaitu:

1. Warga negara harus cukup serasi dalam kepentingannya mereka sehingga mereka sama-sama memiliki suatu perasaan yang kuat tentang kepentingan umum dan bertindak atas dasar itu, sehingga tidak nyata-nyata bertentangan dengan tujuan atau kepentingan pribadi mereka.

2. Dari persyaratan pertama ini, timbul persyaratan kedua: mereka benar-benar harus amat padu dan homogen dalam hal ciri-ciri khas yang, kalau tidak demikian halnya, cenderung menimbulkan konflik politik dan perbedaan pendapat yang tajam mengenai kepentingan umum. Menurut pandangan ini, tidak ada negara yang dapat berharap menjadi sebuah polis yang baik apabila warga-negaranya memiliki perbedaan besar dalam sumberdaya ekonominya dan jumlah waktu lowong yang mereka punyai, atau apabila mereka menganut agama yang berbeda-beda, atau menggunakan bahasa yang berlainan, atau berbeda dalam hal ras, budaya atau (menurut istilah yang kita gunakan sekarang) kelompok etnis.

3.  Jumlah warga-negara harus sangat kecil, yang secara ideal bahkan jauh lebih kecil dari 40.000 – 50.000 yang terdapat di Athena di masa Pericles. Jumlah demos yang kecil itu penting karena tiga alasan: jumlah itu akan menolong menghindari keragaman dan karena itu juga menghindari ketidakserasian yang akan timbul oleh karena perluasan tapal batas yang akan mencakup, seperti Persia, rakyat yang bermacam-macam bahasa, agama, sejarah, dan etnisnya dan hampir tidak ada persamaan diantara mereka. Hal itu juga penting agar warga-negaramempunyai pengetahuan tentang kota dan saudara-saudara mereka sesama warga-negara, dari pengamatan, pengalaman, dan diskusi, yang akan memungkinkan mereka mengetahui kebaikan bersama dan membedakannya dari kepentingan pribadi atau perseorangan. Terakhir, jumlah yang kecil itu juga penting, jika warga-negara harus berkumpul agar berfungsi sebagai penguasa kota yang berdaulat.

4. Karena itu, yang keempat adalah bahwa warga-negara harus dapat berkumpul dan secara langsung memutuskan undang-undang dan keputusan-keputusan mengenai kebijakan. Demikian kokohnya pandangan ini dipercayai, sehingga orang Yunani mengalami kesukaran untuk membayangkan adanya pemerintahan perwakilan, apalagi menerimanya sebagai alternatif yang sah terhadap demokrasi langsung. Tentu saja, pada waktu-waktu tertentu dibentuk liga, atau konfederasi dari negara-negara kota itu. Tetapi sistem yang benar-benar bersifat federal dengan pemerintahan perwakilan telah gagal berkembang, yang tampaknya untuk sebagian, disebabkan gagasan perwakilan itu tidak dapat berhasil bersaing dengan kepercayaan yang menonjol dalam keinginan dan legitimasi tentang pemerintahan langsung dengan majelis-majelis langsung pula.

5. Namun demikian, partisipasi warga negara tidak terbatas pada pertemuan-pertemuan Majelis saja. Mereka berpartisipasi dengan aktif dalam memerintah kota. Orang memperkirakan bahwa di Athena terdapat lebih dari seribu jabatan yang harus diisi, sebagian kecil di antaranya dengan pemilihan, tetapi kebanyakan dengan undian, dan hampir semua dari jabatan ini untuk jangka waktu satu tahun dan hanya dapat diduduki sekali seumur hidup. Bahkan dengan jumlah rakyat yang cukup “besar” di Athena, setiap warga hampir pasti akan menduduki suatu jabatan untuk jangka waktu setahun, dan sebagian besar akan menjadi anggota dari Dewan Lima Ratus, yang akan amat penting itu, yang akan menentukan acara untuk Majelis.

6. Akhirnya, sekurang-kurangnya secara ideal, negara-kota harus tetap sepenuhnya otonom. Liga, konfederasi, dan aliansi kadang-kadang memang penting untuk pertahanan atau perang, tetapi semuanya itu tidak boleh dibiarkan mengurangi otonomi mutlak dari negara-kota dan kedaulatan mejelis dalam negara itu. Karena itu pada prinsipnya setiap kota harus berswasembada, tidak hanya secara politik, tetapi untuk menghindari ketergantungan yang berlebih-lebihan pada perdagangan luar negeri, kehidupan yang baik itu sudah pasti pula suatu kehidupan yang sederhana. Dengan cara begini, demokrasi dihubungkan dengan sifat-sifat kebajikan hidup sederhana, bukan dengan kemakmuran.

Namun dalam perkembangannya ke depan, konsep demokrasi demikian mengalami berbagai perubahan-perubahan sesuai perkembangan pengetahuan.

Transformasi Kedua: Republikanisme, Logika Persamaan dan Perwakilan

Robert A. Dahl menjelaskan bahwa tradisi republiken adalah

Sejumlah pemikiran yang sangat tidak sistematis atau terpadu, yang asal-usulnya terdapat bukan pada gagasan dan praktik demokrasi di dunia Yunani kuno………….., akan tetapi lebih banyak pada para pengritik demokrasi Yunani yang paling terkenal yaitu, Aristoteles.

Republikanisme tidak banyak melihat pada Athena yang merupakan sumber dari demokrasi kuno Yunani melainkan pada Sparta dan Roma serta Venesia. Tradisi republikanisme mengalami perkembangannya pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas di Amerika Serikat dan Inggris.

Walaupun republikanisme telah menyimpang dari demokrasi Yunani kuno tetapi masih memiliki beberapa asumsi pemikiran yang sama dengan demokrasi Yunani yaitu, memandang manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan politik dan memandang setiap orang sejajar di depan hukum.

Kalangan republiken terbagi menjadi dua kelompok yaitu, kalangan republiken aristokratis-konservatif dan kalangan republiken demokratis yang berkembang di abad ketujuh belas dan kedelapan belas, yang dalam beberapa hal memiliki pemikiran bertentangan dengan kalangan republiken konservatif.

Salah satu fokus utama pembahasan kaum republiken adalah mengenai “rakyat” itu sendiri. Republiken aristokratis berpandangan bahwa, meskipun rakyat memiliki peran yang penting dalam pemerintahan namun peranan mereka sepentasnya terbatas saja. Bagi kalangan republiken aristokratis, fungsi rakyat hanyalah memilih pemimpin yang cukup memenuhi persyaratan untuk menjalankan tugas pemerintahan. Karena mereka berpandangan bahwa pemimpin yang benar-benar memenuhi syarat akan menjalankan pemerintahan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Sudah jelas, karena para pemimpin berkewajiban memerintah bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan, dan rakyat secara wajar merupakan suatu unsur penting dari masyarakat, maka para pemimpin yang benar-benar memenuhi syarat akan memerintah untuk kepentingan rakyat. 

Salah satu fokus utama pembahasan kaum republiken adalah mengenai “rakyat” itu sendiri. Rakyat bukanlah kumpulan yang homogen, tetapi terdiri dari berbagai kelompok masyarakat yang umumnya terbagi menjadi dua, kalangan rakyat jelata di satu sisi dan di sisi lainnya adalah kalangan aristokrat dan oligarkhi. Dengan begitu harus ada sebuah kepentingan umum yang merupakan hasil dari penyeimbangan berbagai kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Pemikiran yang demikian terutama sekali dianut oleh kalangan republiken aristokratis. Atas dasar tersebut diatas kalangan republiken aristokratis berpandangan bahwa harus ada sebuah pemerintahan campuran yang mampu menyeimbangkan kepentingan dari masing-masing kelompok masyarakat.

Pemikiran tersebut ditolak oleh para republiken demokratis dengan alasan bahwa kepentingan umum bukanlah mengimbangkan kepentingan rakyat dan kepentingan golongan minoritas. Yang dimaksud kepentingan umum adalah kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan pemerintahan yang demokratis kalangan republiken demokratis mengingatkan kemungkinan-kemungkinan munculnya dominasi dari golongan-golongan minoritas rakyat yaitu unsur-unsur aristokrat dan oligarkhi.

Untuk memecahkan persoalan terjadinya dominasi kepentingan salah satu golongan masyarakat, republiken aristokratis memberikan jalan keluar berupa dibentuknya dua buah lembaga dewan perwakilan, yaitu kamar atas atau upper chamber yang berisikan kalangan aristokrat dan dewan perwakilan rakyat biasa. Namun konsep ini ditolak oleh kalangan republiken demokratis. Dengan alasan bahwa dalam sebuah republik yang demokratis, tidak ada satu kelompok pun yang memiliki keistimewaan.

Walaupun kalangan republiken tidak mampu memberikan solusi untuk menciptakan sebuah pemerintahan campuran untuk menyelesaikan perbedaan kepentingan antara golongan minoritas (aristokrat dan oligarkhi) dan golongan mayoritas (rakyat jelata), tapi ada satu gagasan dari kalangan republiken yang hingga kini tetap dipertahankan yaitu pemikiran Baron de Montesquieu tentang Trias Politica, pemisahan kekuasaan menjadi tiga cabang yaitu, legislatif, eksekutif dan yudikatif. 

Persamaan hak merupakan satu konsep lainnya yang menyertai perkembangan demokrasi. Konsep persamaan hak ini merupakan sebuah kemajuan dalam perkembangan teori demokrasi, dimana pada masa Yunani demokrasi hanyalah dimiliki oleh kalangan-kalangan tertentu saja sementara para budak dan wanita dianggap tidak memiliki hak politik apapun. Konsep persamaan hak telah muncul semenjak abad ketujuh belas di Inggris yang dibawa oleh kalangan Puritan, Leveller dan Commonwealth. Salah satu dari anggota Leveller, Richard Overton, pada tahun 1646 menulis di sebuah buku:

Karena dengan kelahiran normal, semua manusia sama……….karena kita telah dilahirkan Tuhan dengan perantara alam ke dunia ini, masing-masing dengan kemerdekaan dan kepatutan asli……. Meskipun demikian kita akan hidup, masing-masing sama-sama………..menikmati hak semenjak lahir dan hak istimewanya bahkan secara alami Tuhan telah menjadikannya merdeka ……… . Setiap orang secara alami, merupakan raja, pendeta, nabi, dalam wilayah dan batasnya masing-masing, dari mana tidak ada pendukung yang dapat ikut serta mengambil bagian selain dengan perwakilan, penyerahan dan persetujuan yang bebas darinya yang memiliki hak itu.

Tradisi demokrasi perwakilan pertama kali digagas oleh kaum Leveller selama masa perang saudara di Inggris. Namun demokrasi perwakilan sendiri baru diterima secara luas jauh satu abad kemudian.

Diterimanya tradisi demokrasi perwakilan oleh masyarakat tidak lepas dari perkembangan wilayah-wilayah kekuasaan dari negara-kota menjadi negara modern (negara-bangsa) yang memiliki luas wilayah lebih besar dan juga memiliki jumlah penduduk yang sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Destutt de Tracy:

Perwakilan, atau pemerintah perwakilan, dapat dianggap sebagai sesuatu penemuan baru, yang tidak dikenal pada masa Montesqiueu…. Demokrasi perwakilan…… adalah demokrasi yang dibuat menjadi praktis untuk jangka waktu lama dan mencakup wilayah yang luas.

Demokrasi langsung yang menjadi persyaratan demokrasi Yunani berganti menjadi demokrasi perwakilan. Pada demokrasi perwakilan rakyat diberi kesempatan memilih wakil-wakil yang mereka inginkan, yang terhimpun ke dalam partai-partai politik, untuk menduduki kursi-kursi mejelis (parlemen) lewat mekanisme pemilihan umum. Nantinya para “wakil-wakil rakyat inilah” yang akan menyusun kebijakan-kebijakan atau mengambil keputusan-keputusan penting. 

Kritik Atas Demokrasi-Modern

Salah satu persoalan demokrasi yang belum tuntas hingga saat ini adalah berkaitan dengan sistem perwakilan yang menjadi ciri utama demokrasi modern. Lewat mekanisme pemilihan umum rakyat “dipaksa” untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di parlemen yang digambarkan sebagai wujud suara rakyat
.
Dalam banyak kasus, suara parlemen cenderung berbeda dengan kemauan rakyat. Parlemen memiliki pendapatnya sendiri yang dipengaruhi oleh beragam faktor. Situasi demikian tentunya telah menyimpang dari konsep demokrasi yang berarti kedaulatan ada di tangan rakyat.

Kedaulatan yang diwakilkan bukanlah bentuk kedaulatan murni karena suara rakyat tidak dapat diwakilkan. Ada baiknya jika kita menyimak pemikiran Rousseau berikut:

Kedaulatan tidak dapat diwakilkan, dan dengan alasan yang sama tidak dapat pula dipindahkan haknya. Intinya adalah kehendak umum dan kehendak itu harus berbicara untuk dirinya sendiri, atau bukan dirinya sendiri: tidak mungkin ada yang di tengahnya. Oleh karena itu para utusan rakyat bukan dan tidak mungkin menjadi wakil rakyat.

Terbagi-baginya rakyat itu sendiri ke dalam bagian-bagian atau kelompok-kelompok masyarakat akan melahirkan berbagai macam kepentingan yang tidak selamanya berjalan seiring, adakalanya malah bertolak belakang. Adalah sebuah hal yang mustahil bila satu orang di parlemen yang mewakili sekian ribu orang dapat berbicara berdasarkan kepentingan-kepentingan dari seluruh rakyat yang ia wakilkan. Keanehan berikutnya adalah rakyat manakah yang diwakilkan oleh para wakil-wakil rakyat tersebut. Petani, buruh, pengusaha, kaum profesional atau lainnya. Konsep perwakilan adalah sebuah konsep yang kabur. Tidak mungkin satu orang yang duduk di parlemen dapat sekaligus mewakili kepentingan buruh dan pengusaha, petani dan pemilik tanah, mahasiswa serta dosen dan pemilik yayasan pendidikan. Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh Muammar Qathafi:

Parlemen dipilih dari konstituen atau partai atau koalisi partai-partai atau dibentuk dengan beberapa metode lainnya. tetapi semua prosedur ini tidak demokratis karena membagi populasi menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga satu anggota parlemen mewakili ribuan, ratusan ribu atau jutaan rakyat tergantung jumlah populasinya. Ini berarti bahwa anggota parlemen tidak mempunyai hubungan organisasional dengan pemilih, karena, seperti halnya anggota lainnya, dipandang sebagai wakil dari keseluruhan rakyat. Inilah apa yang dikehendaki oleh demokrasi tradisional yang hidup saat ini. Oleh karena itu, rakyat benar-benar terasing dan terpisah dari wakilnya. Karena setelah memenangkan suara rakyat, para wakil rakyat merampas kedaulatan mereka dan bertindak memaksa mereka. 

Di sini Qathafi menjelaskan bahwa anggota parlemen tidak memiliki hubungan apa-apa dengan konstituennya. Sehingga mana mungkin anggota parlemen tersebut dapat memahami kebutuhan-kebutuhan konstituen. Memang untuk saat ini ada berbagai fasilitas yang dapat mendekatkan “wakil rakyat” dan yang diwakilkan semisal, fasilitas e-mail yang digunakan para wakil rakyat di Amerika Serikat untuk mengetahui keinginan-keinginan konstituennya. Namun kita juga harus kembali melihat, bahwa negara selama ini lebih banyak berpihak bukan pada rakyat jelata tetapi kepada golongan masyarakat atas. Lihat saja, ketika rakyat berdemonstrasi, maka para wakil rakyat sibuk berbicara kesana-kemari menuduh bahwa rakyat telah disusupi oleh kelompok tidak bertanggung jawab.

Fenomena demikian tidak hanya terjadi di negara dunia ketiga yang umumnya baru mulai membangun demokrasi tetapi juga berlangsung di negara-negara maju yang telah “demokratis”. Ketika rakyat Eropa menolak program globalisasi neo-liberal, pemerintah maupun parlemen tetap saja jalan terus dengan program tersebut tanpa mempedulikan tuntutan rakyat. Penyebabnya adalah ada faktor-faktor di luar negara yang mempengaruhi negara sedemikian rupa. Fred Block menjelaskan bahwa salah satu faktor itu adalah struktur ekonomi yang dijalankan oleh negara tersebut.Kondisi demikian tidak mampu dihadapi oleh para “wakil-wakil rakyat”, sehingga amanat rakyat yang ada di tangan mereka seringkali digandaikan untuk menghindari implikasi-implikasi negatif terhadap mereka jika mengambil posisi bertentangan dengan tuntutan struktur yang berlaku      

Mekanisme pemilihan umum pun sebenarnya adalah bentuk dari pelanggaran demokrasi karena pada mekanisme ini kekuasaan rakyat hanya terbatas pada saat pemilihan berlangsung, setelah pemilihan usai, rakyat kembali pada posisi tanpa kekuasaan. Kekuasaan atau kedaulatan rakyat telah berpindah ke tangan para “wakil rakyat”. Dengan begitu pemenang pemilu yang direpresentasikan sebagai wakil rakyat memiliki kewenangan penuh untuk mengatur seluruh rakyat sesuai dengan kehendak partai atau dalam bahasa lainnya sesuai dengan program partai.

Sementara program partai yang ditawarkan oleh partai-partai pun belum bisa dikatakan sebagai kebutuhan rakyat karena partai, dengan kemampuan yang dimiliki, mampu membangun sebuah persepsi di masyarakat bahwa program tersebut adalah kebutuhan dari rakyat. Ini adalah sebuah upaya pembalikan kesadaran masyarakat. 

Dari sini dapat dilihat bahwa model demokrasi modern yang saat ini berkembang ternyata tidaklah sempurna. Demokrasi modern masih meninggalkan persoalan-persoalan kedaulatan rakyat yang hingga saat ini tidak terselesaikan. Pencarian model-model alternatif atas demokrasi rakyat harus terus dilakukan.

Oleh: Wendy Andhika P.

Sumber gambar :

Ditulis Oleh : Beck Inspiration

Artikel Sistem Demokrasi Modern dan Sejumlah kritik Atasnya ini ditulis oleh Beck Inspiration pada hari April 07, 2013. Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang Sistem Demokrasi Modern dan Sejumlah kritik Atasnya Dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini.

3 comments:

  1. nah ini yang saya cari info nya gan,thanks :D

    http://agilcahyap.blogspot.com
    http://agilcahyap.wordpress.com
    http://agilcahyap.greatdream.net

    ReplyDelete
  2. Makasi infonya yaah...

    Salam balik
    http://www.pengertianpakar.com
    Pengertian Pakar

    ReplyDelete
  3. Artikel mas sangat keren,. saya juga punya artikel tentang demokrasi loh mas.
    Semoga artiikel saya bisa jadi bahan referensi untuk mas dan pembaca lainnya.

    http://www.pengertianpakar.com/2014/10/pengertian-demokrasi-menurut-para-pakar.html
    http://www.pengertianpakar.com/2015/02/pengertian-dan-sejarah-demokrasi-di.html
    http://www.pengertianpakar.com/2015/02/pengertian-demokrasi-pancasila-menurut.html
    http://www.pengertianpakar.com/2014/12/apa-itu-demokrasi-presidensial-dan.html
    http://www.pengertianpakar.com/2015/02/apa-itu-demokrasi-langsung-dan-tidak.html

    ReplyDelete

Terima kasih untuk teman blogger yang sudah sudi berkomentar di Blog ini :)


Tinggal Jejak Di Sini atau di kotak Komentar..!!

KOMPAStekno

Jaringan Pertemanan

inet.detik